Cerita Horor : KKN di Desa Penari, Versi Nur | Part 2
Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96). |
"lapo to Nur, kok gopoh men" (kenapa sih Nur, kok kamu buru buru pergi)
"kasihan mas Ilham, wes ngenteni" ucap Nur.
"yo wes, ayok" Ayu menimpali.
mereka pun segera naik motor, sebelum keluar dari desa itu. sosok yang Nur lihat, apalagi bila bukan Genderuwo.
"Nur, jak'en Bima, yo, ambek Widya, engkok ambek kenalanku, kating" (Nur, ajak si Bima, sama Widya, sama kenalanku kating) ucap Ayu didalam mobil.
"Bima, lapo ngejak cah kui" (ngapain sih ngajak Bima)
"ben rame, kan wes kenal suwe" (biar rame, kan sudah kenal lama) sahut Ayu
"kok gak awakmu sing ngejak to" (kenapa bukan kamu saja yang ngajak) timpal Nur.
"kan awakmu biyen sak pondok'an, wes luwih suwe kenal" (kan kalian pernah satu pondok, jadi sudah kenal lebih lama) "pokok'e jak en arek iku yo" (pokoknya ajak anak itu ya)
"yo wes, iyo" Nur pun mengalah.
"tak telpone Widya, ben cepet di gawekno Proposal'e mumpung pihak kampus gurung ngerilis daftar KKN'e, gawat kalau pihak kampus wes ngerilis yo, mumpung wes oleh enggon KKN dewe" (biar Widya tak telpon, biar cepat di buatkan proposalnya)
(mumpung kampus belum buat daftar KKN nya, bisa gawat kalau sampai kampus udah buat daftarnya, mumpung kita sudah punya tempat KKN nya)
pelan, mobil itu pun meninggalkan jalanan hutan itu. Nur dan Ayu, kembali ke kotanya, mempersiapkan semua, sebelum mereka nanti kembali.
siang itu, Nur melihat Widya dan Ayu di hari pembekalan sebelum keberangkatan KKN mereka.
setelah menunggu cukup lama, akhirnya 2 orang yang akan bergabung dalam kelompok KKN mereka pun muncul, namanya adalah Wahyu dan Anton. mereka pun membicarakan semua proker dan menentukan jadwal keberangkatan. semua anak sudah setuju, termasuk Widya, yang hampir sepanjang hari terus menceritakan, bahwa ibunya memiliki firasat yang buruk pada tempat KKN mereka. Nur hanya diam dan mendengar, karena di dalam dirinya, ia merasakan hal yang sama.
Malam keberangkatan, Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu dan Anton, sudah berkumpul, perjalanan di lanjutkan dengan mobil elf yang sudah mereka sewa untuk mengantarkan mereka ke pemberhentian dimana nanti mereka akan di jemput oleh warga desa. Nur masih bisa melihat temanya, Widya,
memasang wajah tidak nyaman.
hanya sebuah harap, yang Nur panjatkan, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga.
tetapi, tidak ada yang tahu, doa seperti apa yang akan di ijabah oleh tuhan.
gerimis mulai turun, sepanjang perjalanan, Nur hanya melihat ke jalanan yang lengang.
tepat di pemberhentian lampu merah, seseorang, menggebrak kaca mobil Elf'nya, Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur, dari dalam mobil, Nur melihat pengemis tua itu, ia terus menggebrak
mobil, membuat semua yg ada didalam mobil kebingungan, termasuk si sopir yang berteriak agar lelaki tua itu berhenti sembari melemparkan recehan, dari bibirnya, Nur melihat ia berucap
"ojok budal ndok" (jangan berangkat nak) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua
sampailah mereka ditempat pemberhentian, setelah menunggu, terlihat rentetan cahaya motor mendekat dari seberang jalan setapak, Nur mengatakanya. "iku wong deso sing nyusul rek" (itu orang dari desanya yang jemput kita)
tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan.
jalanan setapak, dengan lumpur karena gerimis, pohon besar dan gelap, dengan kabut disana-sini, terlihat di sepanjang perjalanan.
hanya terdengar suara motor berderu, tanpa ada suara binatang malam, namun, semua berubah ketika tiba-tiba, dari jauh, terdengar suara gamelan.
suaranya sayup-sayup jauh, namun, semakin lama semakin terdengar jelas, Nur mengamati tempat itu, aroma bunga melati tercium menyengat di hidungnya
masih mencari, darimana suara itu terdengar, tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak. terlihat, seorang wanita menunduk
ia menunduk, kemudian melihat Nur, di ikuti dengan lenggak-lenggok lehernya, serta ayunan gerakan tangan dan lenganya, yang bergerak seirama dengan suara gamelan, Nur melihat wanita itu menari.
menari di tengah malam, di tengah, kegalapan hutan yang sunyi senyap.
gerakanya begitu anggun, meski motor terus bergerak, Nur bisa melihat ia menari dengan sangat mempesona, seakan-akan ia bertunjuk untuk sebuah panggung yang tidak bisa Nur lihat.
siapa yang menari di malam buta seperti ini. Nur terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian.
ketika motor berhenti dan sampailah di desa, Nur tidak mengatakan apapun, ia melihat pak Prabu menyambut mereka, saat pak Prabu mempersilahkan mereka ke tempat peristirahatan mereka selama di desa ini, Widya tiba-tiba mengatakanya.
"Pak, kok Deso'ne pelosok men yo"
(Pak, kok desanya jauh sekali ya)
"pelosok yo opo to mbak, wong tekan dalam gede mek 30 menit loh" (pelosok darimana sih mbak, orang dari jalan raya hanya 30 menit)
Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, termasuk wajah Ayu yg memerah entah karena malu atau apa.
mungkin, Ayu merasa Widya sudah melakukan hal yang tidak sopan, sebagai tamu, Widya memang seharusnya tidak mengatakan itu. di tengah perdebadan antara Widya dan Ayu, tiba2 dari balik pohon jauh, sosok hitam dengan mata merah tengah mengintai mereka. sialnya, hanya Nur yg melihat
akhirnya, perdebadan itu selesai, Nur meninggalkan sosok itu, yg masih mengintip dari balik pohon
ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan, untuk mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka, disana rupanya perdebadan Widya dan Ayu berlanjut
"koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampe setengah jam iku mau" (kamu kok keras kepala, sudah dikasih tau, tadi gak sampai setengah jam)
Nur masih melihat, alih-alih menengahi, Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya, genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya.
namun, tetiba, Widya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa mengabaikanya.
"Awakmu mau krungu ta gak, onok suoro gamelan nang tengah alas mau?" (kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi?!)
namun ucapan Widya di tanggapi Ayu dengan nada mengejek. "halah, palingan yo onok acara nang deso tetangga, opo maneh" (halah, paling tadi kebetulan ada yang mengadakan acara di desa tetangga, apalagi)
Nur, yang mendengar itu bereaksi pada Ayu.
"Yu, gak onok loh deso maneh nang kene)
"jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek" (kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk)
Malam itu, berakhir, meski perdebadan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing.
pertanda apa yang sudah menunggu
"Yu, aku kepingin ngomong, wong loro ae, isok kan" (Yu, aku ingin ngomong, sebentar, bisa kan?)
"ngomong opo Nur?" (ngomong apa Nur) tanya Ayu,
Nur dan Ayu pergi ke pawon (dapur) , wajah Nur, masih tegang, ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah, ia melihat makhluk itu.
"Yu, aku takon. awakmu gak ngerasa aneh tah gok deso iki, awakmu jek iling, kok iso-isone pak Prabu sampek ngelarang keras, kene KKN nang kene. opo awakmu gak curiga blas tah"
(Yu, aku mau tanya, kamu gak ngerasa aneh'kah di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu sampai, melarang keras, kita KKN disini, apa kamu gak curiga)
"Opo seh maksudmu ngomong ngunu?!" (apa sih maksudmu ngomong kaya gitu?!) ucap Ayu ketus.
"bekne, pak Prabu nduwe alasan, lapo ngelarang awak dewe KKN nang kene" (mungkin, pak Prabu punya alasan, kenapa melarang kita KKN disini)
"nek awakmu ngomong ngene, soale perkoro Widya
mau, ra masuk akal Nur, awakmu melu observasi nang kene kan ambek aku, opo onok
sing aneh? gak kan. wes talah, mek pirang minggu tok ae loh" (kalau kamu
ngomong begini karena perkara Widya tadi, gak masuk akal Nur-
kamu sendiri ikut aku observasi disini kan, apa ada
yang aneh? gak kan, sudahlah, cuma beberapa minggu aja loh).
Ayu pergi, meninggalkan Nur. sementara Nur, tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat, Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang ghaib. Nur pun mengalah lagi.
"Nur" Widya memanggil, Nur pun menatap wajahnya yang sayu, tampak ia baru saja menangis, tidak aneh memang, siapa yang tidak akan menangis bila merasakan hal yang bahkan tidak masuk diakal seperti itu. "isok gak, aku jalok tulung" (bisa aku minta tolong) ucap Widya.
"tolong, ojok ceritakno yo, soal aku krungu gamelan mau, gak enak ambek warga kampung, kene kan tamu nang kene" (tolong jangan ceritakan ya, soal tadi, soal aku dengar gamelan, aku gak enak kalau sampai kedengaran warga desa, kita kan tamu disini)
Nur hanya mengangguk.
namun, sebelum Widya beranjak dari tempatnya, Nur tiba-tiba mengatakanya. "Wid, asline aku mau yo krungu suara iku mau, malah, aku ndelok onok penari'ne nang pinggir tulangan mau" (Wid, sebenarnya, aku juga mendengar suara gamelan itu, malah, aku melihat ada yang menari disana)
Widya yang mendengar itu dari Ayu, seakan tidak percaya, mereka terdiam cukup lama, bingung harus bereaksi seperti apa.
"wes, Nur, jogo awak dewe-dewe yo, insyallah, gak bakal onok kejadian opo-opo nek kene hormat lan junjung unggah-ungguh selama nang kene"
(sudah Nur, jaga diri baik-baik, ya, insyallah, gak bakal terjadi apa-apa, kalau kita hormat dan menjunjung sopan santun selama tinggal di tempat ini"
ucapan Widya setidaknya membuat Nur sedikit lebih legah, namun, Nur tidak menceritakan tentang sosok Hitam yang mengintai mereka
Malam pertama, Nur, Ayu dan Widya tidur dalam satu kamar yang sama, mereka sepakat untuk menggelar tikar, Nur ada di tengah, sementara Ayu dan Widya ada disamping kanan dan kiri Nur.
terdengar binatang malam bersahut-sahutan, berlomba untuk menunjukkan eksistensinya.
manakala Nur sadar, 2 sahabatnya sudah tertidur lelap, ia terjaga sendirian menatap langit-langit yang berupa genting hitam dengan sarang labah-labah.
rumah desa, tentu saja. pikir Nur, memaklumi, sekat kamarpun tidak menyentuh langit, jadi Nur, bisa melihat celah disana.
ketika memikirkan kejadian hari ini, Nur tiba-tiba tersadar, bahwa, suara riuh binatang malam tidak lagi terdengar, berganti dengan suara sunyi yang memekik membuat telinga Nur menjerit dalam ngeri.
perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja. membuat Nur, lebih awas.
ketika pandanganya, mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, di tengah cahaya lampu petromax yang memancarkan sinar temberam, di sudut sekat kamar, sosok bermata merah, mengintipnya.
Nur tercekat, ia beringsut mundur, menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa.
pancaran wajahnya terbayang didalam kepala Nur, mengingatnya, benar-benar membuat jantung di dadanya, berdegup kencang. ia masih ingat, tanduk kerbau di kepalanya, pancaran amarahnya seolah membuat Nur, semakin tersudut dalam ketakutan.
tanpa sadar, Nur mulai membaca ayat kursi.
satu dari banyak ayat yang diajarkan gurunya, untuk menolak rasa takut, untuk menunjukkan manusia memiliki kekuatan untuk melawan, namun, setiap ia menyelesaikan satu panjatan doa, di ikuti oleh suara papan kayu yang di gebrak dengan serampangan.
kerasnya suara itu, menghantam,
Nur mulai menangis, menangis sendirian, ia tahu, makhluk itu masih disana, tidak terima dengan apa yang ia lakukan, salahkah bila ia meminta bantuan pada tuhan.
salahkah.
Tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan, suara itu menghilang, hilang, hilang, berganti hening... Lanjut ke Part 3
ketika memikirkan kejadian hari ini, Nur tiba-tiba tersadar, bahwa, suara riuh binatang malam tidak lagi terdengar, berganti dengan suara sunyi yang memekik membuat telinga Nur menjerit dalam ngeri.
perasaan tidak enak, tiba-tiba muncul begitu saja. membuat Nur, lebih awas.
ketika pandanganya, mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, di tengah cahaya lampu petromax yang memancarkan sinar temberam, di sudut sekat kamar, sosok bermata merah, mengintipnya.
Nur tercekat, ia beringsut mundur, menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa.
pancaran wajahnya terbayang didalam kepala Nur, mengingatnya, benar-benar membuat jantung di dadanya, berdegup kencang. ia masih ingat, tanduk kerbau di kepalanya, pancaran amarahnya seolah membuat Nur, semakin tersudut dalam ketakutan.
tanpa sadar, Nur mulai membaca ayat kursi.
satu dari banyak ayat yang diajarkan gurunya, untuk menolak rasa takut, untuk menunjukkan manusia memiliki kekuatan untuk melawan, namun, setiap ia menyelesaikan satu panjatan doa, di ikuti oleh suara papan kayu yang di gebrak dengan serampangan.
kerasnya suara itu, menghantam,
Nur mulai menangis, menangis sendirian, ia tahu, makhluk itu masih disana, tidak terima dengan apa yang ia lakukan, salahkah bila ia meminta bantuan pada tuhan.
salahkah.
Tepat ketika isi hati Nur menyeruak, perlahan, suara itu menghilang, hilang, hilang, berganti hening... Lanjut ke Part 3
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : KKN di Desa Penari, Versi Nur | Part 2 "