Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 2
Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96). |
Ditengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali. Sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan
khawatir bahwa yang di maksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai.
Di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.
Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat. kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.
Suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan.
apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini. dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.
Sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
"Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.
"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
"kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN"
Pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab.
"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"
(pelosok bagaimana- maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)
tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
"mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal)
Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)
Di situ, Widya menyadari, ada yang salah.
Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar.
sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga.
Di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
Nur, lebih memilih untuk diam.
"ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?)
"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi)
berbeda dengan Ayu. Nur, menatap Widya dengan ngeri.
Sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata.
"Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek" (Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk).
Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
"Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong hal yang gak masuk akal begini)
Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur.
saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
"masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi)
"Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya.
Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
Benar kata ibunya tempo hari.
"Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur
Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat.
Mungkin Nur lebih sensitif.
Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".
Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.
"Nur," kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih"
(Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)
(kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)
Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.
"Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi" kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia,
Mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah" (Itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah)
Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?"
"bukan" kata beliau santai. "pertanian"
"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?) "ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah"
Jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam.
Sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
'Aneh.'
Itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam. pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya.
"ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)
Belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya
"saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?"
Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil
"ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.
"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak)
Pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak.
"semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
Kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu.
"monggo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"
Tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah).
Pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.
Tanpa terasa, hari sudah siang.
Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan.
Namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang. setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus.
Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja. kemudian, sampailah di titik paling.... Lanjut ke Part 3
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 2"