Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 5 (SELESAI)
Cerita dibawah ini merupakan kelanjutan dari Bagian ke 4 ( silahkan di klik bagi yang belum baca, biar nyambung ceritanya dari awal).
Aku hanya mengangguk. Ibu meminta sekali lagi agar mengabaikan apa pun yang sekiranya ku
dengar, ku cium, dan ku lihat mengenai rumah nomor 13. Ibu juga menyuruhkan terus minta pertolongan pada Tuhan agar selalu dilindungi.
Aku menyanggupi.
Tahun demi tahun, walau ada apa pun yang aneh tapi masih tergolong wajar, aku hanya bisa diam. Ibu, ayah, kakakku, dan adikku juga sama, berusaha bersikap jika itu semua adalah hal yang baik-baik saja. Yang sedikit mengusikku, jika ada bayi lahir di komplek perumahan itu, buru-buru dibawa pergi. Kemana tau sampai bayi itu selesai ASI eksklusif. Beberapa kali tetangga kehilangan peliharaan, bahkan yang rumahnya berjauhan dariku. Dan sebagainya.
Penemuan bangkai binatang di atas atap nomor 13 juga seringkali ada di hadapanku. Lagi-lagi aku berusaha biasa. Cuekin aja lah. Bodo amat. Terserah. Biarin. Suka-suka kamu aja, nyai.
----------------------------------------------------------
Waktu berlalu. Lulus SMP, lalu lulus SMA, lalu ke perguruan tinggi, dan akhirnya aku menikah. Dengan siapa? Haha, iya, Yogi. Lantaran tetangga dekat dan teman sepermainan, aku dan Yogi udah lebih mirip sahabat dalam kepompong. Nikah juga gak ramai-ramai banget karena semua orang sudah mengetahui kisah cinta kami. Jadi gak aneh.
Oh iya, hampir seluruh rumah di Jalan Kawi dan Merapi terisi penuh sekarang. Hanya rumah nomor 12 dan 14 saja yang tak berpenghuni. Dulu pernah ada yang membeli, tapi jadi over kredit dan sampai sekarang belum laku. Ada pula yang pernah mengontraknya tetapi hanya bertahan sebulan-dua bulan. Selebihnya, kosong lagi.
Kami menumpang di rumah mertua indah. Bolak balik saja. Kadang seminggu di rumahku, seminggu di rumah Yogi. Saat Yogi diterima kerja di BUMN, rencana aku mau mengontrak rumah sendiri tapi masih di wilayah komplek. Malam ini giliran menginap di rumah ibuku.
Dimana kita ngontrak nanti, mas?
Terserah, ucap Yogi.
Belakang sini? tanyaku sambil ketawa pelan.
Yogi menggeleng keras. Gak, gue gak mau ambil risiko. Ntar juga lu hamil, kan, dih gue gak berani ngucapin tapi udah kebayang yang engga-engga, kata Yogi.
Cieh, khawatir, aku menyenggol Yogi. Mendadak aku mual, ingin muntah.
Nah, kan. Baru juga diomong. Hamil kali lu, periksa yuk, ujar Yogi ada rasa khawatir.
Ya udah ayuk, kataku.
Malam itu kami ke bidan yang buka praktik di depan komplek.
Selamat ya Pak Yogi, istrinya udah 4 minggu ternyata, si bidan menyalami suamiku.
Mata Yogi berbinar-binar. Aku tersenyum melihat suamiku girang.
Kami pulang ke rumah ibuku. Tapi entah kenapa Yogi mendadak ingin malam itu menginap di rumah ibunya. Gue deg-degan gini, ya. Nginep rumah nyokap gue aja ya, yang, kata Yogi.
Aku aneh melihat dia. Tapi kuiyakan. Ya udah terserah, bilang dulu sama ibu, kataku.
Yogi meminta izin pada ayah dan ibuku. Ibuku mengiyakan setelah sebelumnya keduanya ikutan girang karena kabar bahwa kami akan punya anak. Kami pun langsung ke rumah mertuaku. Lupa cerita, Yogi berdarah Kalimantan, Bali, Jawa. Perilmuan supranatural hal yang biasa di rumahnya. Ibunya pun bisa melihat hal-hal gaib yang tak bisa dilihat orang biasa sepertiku. Meski begitu, Yogi dan aku merupakan produk zaman sekarang yang gak repot dengan mistis
Assalammualaikum, Yogi mengucapkan salam masuk ke rumah orangtuanya.
Waalaikumsalam, mertua laki-laki menjawab salam. Bapak mertuaku orangnya lucu. Gemuk dan punya pipi bulat. Dia sayangnya minta ampun padaku, mungkin karena sama-sama orang Jawa. Dari mana ini? Kata bapak mertuaku sambil mengacak-acak rambutku. Ibu mertuaku sedang di kamar mandi.
Saat beliau keluar dan menghampiri kami, mendadak wajah beliau menegang. Tutup pintu rumah. Yogi, tutup sekarang! katanya setengah berteriak. Aku bingung sekaligus bengong. Aku berinisiatif menutupnya tapi dicegah. Jen, menjauh dari pintu. Yogi! Cepat! Suamiku segera menutup pintu.
Ibu, udah malem juga, jangan teriak sih, kata Yogi.
Lu gak tau yang ibu liat dan yang gue liat, mas. Jadi lu diem aja, kata Nita adik iparku menyambar.
Yogi pun diam dan maklum. Nita memang juga bisa melihat mahluk astral. Segera setelah ibu mertua komat-kamit membaca doa, dia menghampiriku. Alhamdulillah, puji Tuhan ya, selamat, katanya. Yah, beginilah kalau punya mertua udah bisa melihat masa depan. Kami belum cerita aja, dia sudah ngerti.
Eh, kenapa nih? tanya bapak mertua. Aku cuma ngikik.
Ibu mertua menjelaskan kepada bapak mertua jika aku hamil. Wah, bapak mertua ku langsung memberikan selamat. Disuruhnya Yogi beli martabak untuk merayakan kehamilanku. Beli yang banyak martabaknya. Bapak martabak keju, kamu apa terserah, kata bapak mertua sambil memberi uang ke anaknya. Namun ibu mertua mencegah.
Besok saja, dia masih ada di sana, ucap ibu mertuaku.
Dia siapa, bu? tanyaku.
Ibu mertua hanya tersenyum di sudut bibir.
Wanita nomor 13, kata Nita melanjutkan sambil terus memandang ke pintu.
Aku terhenyak, pandang-pandangan dengan Yogi. Yogi sampai memegang kepalanya tanda pusing.
Dari cerita Nita, ternyata dari tadi, dia sudah mengintil kami.
Bapak mertuaku berusaha mencairkan ketegangan yang terjadi. Beliau memang super, lah. Bisa tertawa di tengah suasana mencekam. Bapak mertua menceritakan ulang ketika Yogi masih kecil dan suka buang hajar di celana. Aku terbahak-bahak. Yogi juga. Hanya Nita dan Ibu mertua yang tidak tertawa. Mereka terus memandang ke arah pintu. Kelar bercanda ria, Yogi dan aku pamit tidur. Bapak mengiyakan, sementara ibu memberikan sebuah gelang dari kayu gaharu.
Pakai ini selama kamu hamil. Jangan dicopot meski mau mandi sekalipun, kata ibu mertua memakaikan gelang itu padaku. Aku mengiyakan.
Akhirnya kami beranjak ke peraduan. Bersiap untuk tidur. Yogi mematikan lampu sebab tahu, aku tak bisa tidur dengan lampu menyala. Aku pun mulai terlelap. Yogi memelukku erat.
-------------
Entah jam berapa, aku terbangun karena kaca di kamar yogi ada yang mengetuk pelan. Aku merinding lalu terbangun duduk. Ketukan itu tak berbunyi lagi. Aku terus memandangi ke arah kaca. Sekelebat ada bayangan melintas! Ya Tuhan, apa itu? Aku berusaha membangunkan Yogi. F*CK! Yogi tak ada di sampingku! Kemana dia?
Aku teriak sekencang-kencangnya. YOGI!!!!
Belum ada yang datang. Aku kembali berteriak-teriak. Pintu kamar terlihat ada yang berusaha membuka dari luar. JEN! JEN! BUKA PINTUNYA! itu suara Yogi. Sial! Aku dikurung di kamar suamiku oleh sesuatu yang tak nampak! YOGI, TOLONG!
JEN! JEN! Yogi tetap berusaha membuka pintu kamar dengan sekasar mungkin.
Dari jendela aku meyaksikan bayangan seseorang. Dia wanita. Rambutnya bob mirip Dora! Mungkinkah wanita dari rumah nomor 13?
Jantungku berdebar-debar. Kupandangi terus arah jendela. Rambut wanita itu yang tadinya mirip Dora, memanjang dan memanjang, entah sampai semana. Tubuhku tak bisa bergerak. Aku ingat pesan ibu, tetap sebut nama Tuhan dalam hati. Aku pun membaca doa yang kubisa. Dari arah luar suamiku terus berupaya membuka kamar. Mendadak wanita itu menghilang! Di saat yang bersamaan Yogi berhasil membuka pintu kamar. Dia langsung memelukku erat.
Kamu kenapa? Tanya Yogi padaku. Aku tak bisa bicara. Tubuhku mendingin kayak es. Kulihat di pintu kamar bapak, ibu, dan Nita memandang ke arahku.
Lancang dia, Yogi. Kita selesaikan saja, ujar Ibu mertuaku kepada Yogi.
Yogi pun menghela nafas panjang. Setelah suasana agak reda, Yogi bicara padaku tentang rencana ibu mertuaku 'mencari perkara' dengan wanita dari rumah nomor 13.
Ibu yakin itu dia, kata suamiku.
Mas, kamu inget dong pesan ibuku. Kita gak boleh prasangka buruk sama orang. Memang yang kusaksikan bayangan mirip dia tapi bukan berarti itu dia. Kita harus menggunakan asas praduga tak bersalah. Ini bukan hal biasa. Perang ilmu, waelah, mana aku kepikiran. Engga sama sekali. Aku gak punya ilmu apa pun dalam tanda kutip. Keluargaku juga biasa-biasa saja. Udah lah, lupakan, kataku.
Ya udah, kamu sendiri yang bicara sama ibu gih sana. Intinya ibu udah geram banget sama dia. Bertahun-tahun warga sini yang tengah hamil dan baru melahirkan meminta bantuan ibu karena selalu diganggu. Oleh siapa? Dia itu lah orangnya, ujar suamiku berapi-api.
Aku dari SD, Jen. Aku tiap hari melihat orang datang minta bantuan. Kamu kan gak tau peristiwa apa yang sudah dilalui keluargaku. Sekarang menantunya sendiri yang mengalami, masak iya ibu tega ngediemin kamu? Ini gak sekali dua kali, Jen. Sering. Kalau ada orang hamil memang beginilah yang terjadi di komplek ini, kata Yogi.
Aku cuma terdiam. Peristiwa barusan cukup membuat jantungku copot.
Terserah ibu aja, aku ikut, kataku akhirnya.
Sementara waktu, aku diungsikan oleh ibuku ke Yogyakarta. Hari-hari aku menunggu bayiku besar di Kota Pelajar yang syahdu ini. Yogi sebulan sekali menengokku dan anaknya. Syukurlah, di sini aku tidak mengalami kejadian aneh-aneh. Menurut eyangku, di sini banyak yang 'menjaga', entah apa maksudnya yang jelas memang lebih tentram di Jogja.
Tibalah saat kelahiran si jabang bayi yang lucu berjenis kelamin lelaki. Alhamdulillah lahir dengan selamat. Aku menunggunya agar usianya satu bulan, baru kembali lagi ke Bekasi, komplek perumahan tempat ayah, ibu, dan mertuaku berada.
Balik ke komplek ini, yang pertama kali ingin kulihat adalah rumah nomor 13. Rumah tersebut sudah hancur dan tinggal puing setinggi paha orang dewasa. Kemana wanita di situ, ya? Entahlah, aku tak ingin kepo berlebihan. Yang jelas, hawa di sana jadi lebih baik semenjak dia tak ada.
SELEASAI...
Aku hanya mengangguk. Ibu meminta sekali lagi agar mengabaikan apa pun yang sekiranya ku
dengar, ku cium, dan ku lihat mengenai rumah nomor 13. Ibu juga menyuruhkan terus minta pertolongan pada Tuhan agar selalu dilindungi.
Aku menyanggupi.
Tahun demi tahun, walau ada apa pun yang aneh tapi masih tergolong wajar, aku hanya bisa diam. Ibu, ayah, kakakku, dan adikku juga sama, berusaha bersikap jika itu semua adalah hal yang baik-baik saja. Yang sedikit mengusikku, jika ada bayi lahir di komplek perumahan itu, buru-buru dibawa pergi. Kemana tau sampai bayi itu selesai ASI eksklusif. Beberapa kali tetangga kehilangan peliharaan, bahkan yang rumahnya berjauhan dariku. Dan sebagainya.
Penemuan bangkai binatang di atas atap nomor 13 juga seringkali ada di hadapanku. Lagi-lagi aku berusaha biasa. Cuekin aja lah. Bodo amat. Terserah. Biarin. Suka-suka kamu aja, nyai.
----------------------------------------------------------
Waktu berlalu. Lulus SMP, lalu lulus SMA, lalu ke perguruan tinggi, dan akhirnya aku menikah. Dengan siapa? Haha, iya, Yogi. Lantaran tetangga dekat dan teman sepermainan, aku dan Yogi udah lebih mirip sahabat dalam kepompong. Nikah juga gak ramai-ramai banget karena semua orang sudah mengetahui kisah cinta kami. Jadi gak aneh.
Oh iya, hampir seluruh rumah di Jalan Kawi dan Merapi terisi penuh sekarang. Hanya rumah nomor 12 dan 14 saja yang tak berpenghuni. Dulu pernah ada yang membeli, tapi jadi over kredit dan sampai sekarang belum laku. Ada pula yang pernah mengontraknya tetapi hanya bertahan sebulan-dua bulan. Selebihnya, kosong lagi.
Kami menumpang di rumah mertua indah. Bolak balik saja. Kadang seminggu di rumahku, seminggu di rumah Yogi. Saat Yogi diterima kerja di BUMN, rencana aku mau mengontrak rumah sendiri tapi masih di wilayah komplek. Malam ini giliran menginap di rumah ibuku.
Dimana kita ngontrak nanti, mas?
Terserah, ucap Yogi.
Belakang sini? tanyaku sambil ketawa pelan.
Yogi menggeleng keras. Gak, gue gak mau ambil risiko. Ntar juga lu hamil, kan, dih gue gak berani ngucapin tapi udah kebayang yang engga-engga, kata Yogi.
Cieh, khawatir, aku menyenggol Yogi. Mendadak aku mual, ingin muntah.
Nah, kan. Baru juga diomong. Hamil kali lu, periksa yuk, ujar Yogi ada rasa khawatir.
Ya udah ayuk, kataku.
Malam itu kami ke bidan yang buka praktik di depan komplek.
Selamat ya Pak Yogi, istrinya udah 4 minggu ternyata, si bidan menyalami suamiku.
Mata Yogi berbinar-binar. Aku tersenyum melihat suamiku girang.
Kami pulang ke rumah ibuku. Tapi entah kenapa Yogi mendadak ingin malam itu menginap di rumah ibunya. Gue deg-degan gini, ya. Nginep rumah nyokap gue aja ya, yang, kata Yogi.
Aku aneh melihat dia. Tapi kuiyakan. Ya udah terserah, bilang dulu sama ibu, kataku.
Yogi meminta izin pada ayah dan ibuku. Ibuku mengiyakan setelah sebelumnya keduanya ikutan girang karena kabar bahwa kami akan punya anak. Kami pun langsung ke rumah mertuaku. Lupa cerita, Yogi berdarah Kalimantan, Bali, Jawa. Perilmuan supranatural hal yang biasa di rumahnya. Ibunya pun bisa melihat hal-hal gaib yang tak bisa dilihat orang biasa sepertiku. Meski begitu, Yogi dan aku merupakan produk zaman sekarang yang gak repot dengan mistis
Assalammualaikum, Yogi mengucapkan salam masuk ke rumah orangtuanya.
Waalaikumsalam, mertua laki-laki menjawab salam. Bapak mertuaku orangnya lucu. Gemuk dan punya pipi bulat. Dia sayangnya minta ampun padaku, mungkin karena sama-sama orang Jawa. Dari mana ini? Kata bapak mertuaku sambil mengacak-acak rambutku. Ibu mertuaku sedang di kamar mandi.
Saat beliau keluar dan menghampiri kami, mendadak wajah beliau menegang. Tutup pintu rumah. Yogi, tutup sekarang! katanya setengah berteriak. Aku bingung sekaligus bengong. Aku berinisiatif menutupnya tapi dicegah. Jen, menjauh dari pintu. Yogi! Cepat! Suamiku segera menutup pintu.
Ibu, udah malem juga, jangan teriak sih, kata Yogi.
Lu gak tau yang ibu liat dan yang gue liat, mas. Jadi lu diem aja, kata Nita adik iparku menyambar.
Yogi pun diam dan maklum. Nita memang juga bisa melihat mahluk astral. Segera setelah ibu mertua komat-kamit membaca doa, dia menghampiriku. Alhamdulillah, puji Tuhan ya, selamat, katanya. Yah, beginilah kalau punya mertua udah bisa melihat masa depan. Kami belum cerita aja, dia sudah ngerti.
Eh, kenapa nih? tanya bapak mertua. Aku cuma ngikik.
Ibu mertua menjelaskan kepada bapak mertua jika aku hamil. Wah, bapak mertua ku langsung memberikan selamat. Disuruhnya Yogi beli martabak untuk merayakan kehamilanku. Beli yang banyak martabaknya. Bapak martabak keju, kamu apa terserah, kata bapak mertua sambil memberi uang ke anaknya. Namun ibu mertua mencegah.
Besok saja, dia masih ada di sana, ucap ibu mertuaku.
Dia siapa, bu? tanyaku.
Ibu mertua hanya tersenyum di sudut bibir.
Wanita nomor 13, kata Nita melanjutkan sambil terus memandang ke pintu.
Aku terhenyak, pandang-pandangan dengan Yogi. Yogi sampai memegang kepalanya tanda pusing.
Dari cerita Nita, ternyata dari tadi, dia sudah mengintil kami.
Bapak mertuaku berusaha mencairkan ketegangan yang terjadi. Beliau memang super, lah. Bisa tertawa di tengah suasana mencekam. Bapak mertua menceritakan ulang ketika Yogi masih kecil dan suka buang hajar di celana. Aku terbahak-bahak. Yogi juga. Hanya Nita dan Ibu mertua yang tidak tertawa. Mereka terus memandang ke arah pintu. Kelar bercanda ria, Yogi dan aku pamit tidur. Bapak mengiyakan, sementara ibu memberikan sebuah gelang dari kayu gaharu.
Pakai ini selama kamu hamil. Jangan dicopot meski mau mandi sekalipun, kata ibu mertua memakaikan gelang itu padaku. Aku mengiyakan.
Akhirnya kami beranjak ke peraduan. Bersiap untuk tidur. Yogi mematikan lampu sebab tahu, aku tak bisa tidur dengan lampu menyala. Aku pun mulai terlelap. Yogi memelukku erat.
-------------
Entah jam berapa, aku terbangun karena kaca di kamar yogi ada yang mengetuk pelan. Aku merinding lalu terbangun duduk. Ketukan itu tak berbunyi lagi. Aku terus memandangi ke arah kaca. Sekelebat ada bayangan melintas! Ya Tuhan, apa itu? Aku berusaha membangunkan Yogi. F*CK! Yogi tak ada di sampingku! Kemana dia?
Aku teriak sekencang-kencangnya. YOGI!!!!
Belum ada yang datang. Aku kembali berteriak-teriak. Pintu kamar terlihat ada yang berusaha membuka dari luar. JEN! JEN! BUKA PINTUNYA! itu suara Yogi. Sial! Aku dikurung di kamar suamiku oleh sesuatu yang tak nampak! YOGI, TOLONG!
JEN! JEN! Yogi tetap berusaha membuka pintu kamar dengan sekasar mungkin.
Dari jendela aku meyaksikan bayangan seseorang. Dia wanita. Rambutnya bob mirip Dora! Mungkinkah wanita dari rumah nomor 13?
Jantungku berdebar-debar. Kupandangi terus arah jendela. Rambut wanita itu yang tadinya mirip Dora, memanjang dan memanjang, entah sampai semana. Tubuhku tak bisa bergerak. Aku ingat pesan ibu, tetap sebut nama Tuhan dalam hati. Aku pun membaca doa yang kubisa. Dari arah luar suamiku terus berupaya membuka kamar. Mendadak wanita itu menghilang! Di saat yang bersamaan Yogi berhasil membuka pintu kamar. Dia langsung memelukku erat.
Kamu kenapa? Tanya Yogi padaku. Aku tak bisa bicara. Tubuhku mendingin kayak es. Kulihat di pintu kamar bapak, ibu, dan Nita memandang ke arahku.
Lancang dia, Yogi. Kita selesaikan saja, ujar Ibu mertuaku kepada Yogi.
Yogi pun menghela nafas panjang. Setelah suasana agak reda, Yogi bicara padaku tentang rencana ibu mertuaku 'mencari perkara' dengan wanita dari rumah nomor 13.
Ibu yakin itu dia, kata suamiku.
Mas, kamu inget dong pesan ibuku. Kita gak boleh prasangka buruk sama orang. Memang yang kusaksikan bayangan mirip dia tapi bukan berarti itu dia. Kita harus menggunakan asas praduga tak bersalah. Ini bukan hal biasa. Perang ilmu, waelah, mana aku kepikiran. Engga sama sekali. Aku gak punya ilmu apa pun dalam tanda kutip. Keluargaku juga biasa-biasa saja. Udah lah, lupakan, kataku.
Ya udah, kamu sendiri yang bicara sama ibu gih sana. Intinya ibu udah geram banget sama dia. Bertahun-tahun warga sini yang tengah hamil dan baru melahirkan meminta bantuan ibu karena selalu diganggu. Oleh siapa? Dia itu lah orangnya, ujar suamiku berapi-api.
Aku dari SD, Jen. Aku tiap hari melihat orang datang minta bantuan. Kamu kan gak tau peristiwa apa yang sudah dilalui keluargaku. Sekarang menantunya sendiri yang mengalami, masak iya ibu tega ngediemin kamu? Ini gak sekali dua kali, Jen. Sering. Kalau ada orang hamil memang beginilah yang terjadi di komplek ini, kata Yogi.
Aku cuma terdiam. Peristiwa barusan cukup membuat jantungku copot.
Terserah ibu aja, aku ikut, kataku akhirnya.
Sementara waktu, aku diungsikan oleh ibuku ke Yogyakarta. Hari-hari aku menunggu bayiku besar di Kota Pelajar yang syahdu ini. Yogi sebulan sekali menengokku dan anaknya. Syukurlah, di sini aku tidak mengalami kejadian aneh-aneh. Menurut eyangku, di sini banyak yang 'menjaga', entah apa maksudnya yang jelas memang lebih tentram di Jogja.
Tibalah saat kelahiran si jabang bayi yang lucu berjenis kelamin lelaki. Alhamdulillah lahir dengan selamat. Aku menunggunya agar usianya satu bulan, baru kembali lagi ke Bekasi, komplek perumahan tempat ayah, ibu, dan mertuaku berada.
Balik ke komplek ini, yang pertama kali ingin kulihat adalah rumah nomor 13. Rumah tersebut sudah hancur dan tinggal puing setinggi paha orang dewasa. Kemana wanita di situ, ya? Entahlah, aku tak ingin kepo berlebihan. Yang jelas, hawa di sana jadi lebih baik semenjak dia tak ada.
SELEASAI...
Maaf mw tnya, yg di mksud ini komplek tokyo bkn yah
BalasHapus