Cerita Horor : Kisah Seram Desa Gondo Mayit | Part 1
Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96). |
Karena ceritanya lumayan panjang, sepertia biasa saya pun akan membagikan ceritanya menjadi beberapa Part. (kalo gak dibagi jadi beberapa part bacanya bakalan capek, terus gak bisa ditandain batas bacaan udah sampe mana).
oke daripada makin penasaran, mari kita simak bersama ceritanya dibawah ini...
Malam ini. ijinkan gw memulai sebuah cerita.
sebuah cerita yang penah di ceritain oleh seseorang, seseorang yang menurut gw spesial, karena gw udah kenal dia lama. lama sekali, meskipun gak pernah satu sekolah, satu kampus, satu pekerjaan, tapi gw udah nganggap dia abang kandung
udah lama seinget gw buat maen ke kota pahlawan ini. salah satu kota yang jadi saksi perjuangan gw dulu buat nyari kerja serabutan, dan hari ini, gw balik lagi ke kota ini, buat ketemu seseorang.
seseorang yang gak tau kenapa selalu bikin gw kangen, kangen wejengan beliau.
namanya. adalah mas Damar.
ngomong soal mas Damar, gw jadi inget sebuah cerita dimana beliau menceritakan salah satu cerita pengalaman beliau, yang menurut gw menarik, terlepas dengan sebegitu ngerinya cerita itu, tetap saja, cerita ini adalah cerita yang selalu gw inget..
cerita tentang "Deso Gondo Mayit"
"Deso edan!!" (Desa Gila) kata mas Damar, matanya masih menatap kesana-kemari seolah peristiwa itu membekas di ingatanya.
"Edan yo opo?" (Gila bagaimana?) gw bertanya. penasaran.
"yo opo gak Edan, bendino onok ae sing mati. nek gak mati, jarene tondo balak"
(bagaimana gak gila, setiap hari selalu saja ada orang yang mati, kalau tidak ada yang mati, katanya justru mengundang musibah)
percakapan kami sahut menyahut. membuat gw semakin penasaran, sampai, pendangan gw teralihkan ketika motor Honda RC hitam, baru saja berhenti.
Mas Erik. sosok yang juga gw kenal akrab, datang, duduk dan memesan kopi, disini, gw melihat mas Damar melihat mas Erik.
"Rik, iki loh, ceritakno cerito sing awakmu ambek aku jaman kuliah biyen, sing nyasar gok Desa gondo mayit" (Rik, ini loh, ceritakan cerita kamu dan aku yang-
jaman masih kuliah, waktu kita nyasar di sebuah Desa bernama Gondo Mayit)
wajah tenang mas Erik tiba-tiba berubah, mengisyaratkan ketidakenakan, dan gw bisa menangkap raut ngeri itu dari alisnya.
"jek di iling-iling ae, wes lalik'ke ae" (masih di ingat saja, sudah lupakan)
mendengar itu, gw pun langsung memohon, sejujurnya, gw paling suka mendengar cerita-cerita seperti ini, toh gw udah gak asing lagi dengan hal-hal seperti ini.
awalnya, mas Erik tampak ogah menceritakan, berbekal bujukan bahwa gw yang akan bayar kopi di tambah rokok, untuk cerita
ini, gw pun, menyanggupi.
disinilah, gw melihat mas Erik, menunjuk sesuatu. arah Utara dari kota pahlawan ini, gw mengernyitkan dahi.
"eroh daerah T****S gok kidule gunung P*******N??" (kamu tau daerah ****** di utara gunung *********??)
gw mengangguk.
"yo, gok kunu Desone"
(disanalah Desa ini berada)
dan disinilah. cerita ini di mulai.
Mas Damar baru saja di tunjuk untuk menjadi ketua Mapala periode tahun 2011-2012, di universitas t**** b**** a******, salah satu Universitas yang cukup di kenal di kota ini.
menjabat menjadi ketua pada semester 6 bukanlah hal bijak, terlebih ketika ada agenda, bahwa bulan juli,
akan ada projek untuk mendaki puncak Mahameru, dimana 4 universitas bersama Mapala mereka akan bergabung
disinilah, mas Damar membuat satu acara dadakan untuk mempersiapkan kesanggupan team mereka pada bulan juli, tetapi, tak satupun anggota sanggup, karena bertepatan dengan UTS
karena minimnya persiapan, mas Damar pun berinisiatif untuk melanjutkan agendanya, meski bila harus seorang diri. mas Erik, ketua Mapala sebelumnya pun akhirnya ikut bergabung. karena toh ini untuk nama Universtas mereka, dan disinilah mereka dapat satu tempat yang di rasa cocok.
"Alas T*****" salah satu tempat untuk melatih stamina karena medanya yang menanjak dan juga tempat terbaik untuk mendapat momen dimana suhu tempat ini nyaris seperti suhu di puncak Mahameru.
sebelum mas Damar dan mas Erik tau, apa yang sudah menunggu mereka disana.
persiapan sudah di lakukan satu minggu sebelumnya, mulai dari ijin untuk mendaki sekaligus menyisir tempat yang akan di jadikan tujuan pendakian ini, meski jalur yang akan di tuju mas Damar dan Erik, bukan jalur pendakian pada umumnya, namun, mas Damar meyakinkan mas Erik,
perjalanan 6 jam, terasa singkat, terlebih di hari yang semakin petang, mas Damar masih memeriksa semuanya, kompas yang selalu di bangga-banggakan pun tak luput dari genggaman.
mobil mereka berhenti di salah satu pos yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
anehnya. malam itu. tidak ada satupun yang berjaga, seharusnya, ada satu atau dua penjaga, karena meskipun ini bukan jalur pendakian resmi, ini adalah jalur yang seringkali ramai pengunjung, karena tempat ini adalah satu tempat objek wisata yang terkenal.
menunggu, setidaknya itu yang di lakukan mas Damar, karena bagaimanapun laporan itu penting terutama untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak di inginkan.
namun, satu-jam dua jam berlalu, dan masih belum ada satu batang hidung pun yang muncul, hal itu, membuat mas Erik gusar
"wes ngene ae loh Mar, tinggalen KTP gok kene, tulisen pesan, bahwa kita sudah melaporkan. toh gak onok sing eroh sampe kapan petugas;e gak onk kan?" (sudah, begini saja Mar, tinggalkan KTP disini, tulis pesan, bahwa kita sudah melapirkan, lagian kita gak tau kapan petusanya ada)
Bimbang. itu lah yang mas Damar pikirkan. bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun satu yang mas Damar ingat.
hal-hal seperti ini biasanya di iringi dengan petaka yang buruk di langkah selanjutnya, namun, Erik benar. tidak ada yang tau kapan petuas itu akan kembali.
nekat. mas Damar dan mas Erik pun akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan, bersiap untuk menyambut Penghuni yang sudah menunggu mereka.
jam menunjukkan pukul 8 malam, seharusnya jalanan belum segelap itu, apalagi jalurnya sendiri masih tidak seberapa jauh dari pos pertama, tapi, malam itu lain, jalur itu lebih gelap dari seharusnya, yang lebih aneh, tidak terdengar satupun binatang malam di sekitar sana.
medanya memang menanjak, seperti bukit setapak yang bila di telusuri lebih tinggi, namun masih bisa di tempuh dengan santai. disini, Erik yang memulainya.
"jare mbahku, Dam, nek gak onok suoro, biasane onok memedi" (kalau kata mbahku, kalau gak ada suara, biasanya ada hantu)
"Huss. di jogo lambene, gak apik ngomong ngunu" (huss, di jaga mulutnya, tidak baik ngomong begitu) kata Damar.
ada yang membuat Damar sedari tadi tidak tenang, berjalan di belakang Erik, seharusnya tidak ada lagi sesiapapun di belakangnya, namun, bulukuduknya berdiri sedari tdi
bukan kali pertama Damar merasakan ini, selama dia mendaki gunung dan masuk ke hutan-hutan seperti ini, bulukuduk atau leher meremang sudah menjadi makanan sehari-hari, namun, perasaan ini berbeda, seolah-olah, yang ini jauh lebih mengintimidasi.
namun, Erik tak merasakan apapun
melihat Erik membuka jalan dengan parang di tanganya setidaknya memberi ketenangan pada Damar, sampai, ia akhirnya mendengar suara lain.
Damar berhenti, di susul Erik.
"Rik, Rik" panggilnya. Erik mendekat, menatap Damar yang leluasa mencari-cari pandang.
"opo?" (apa)
"Pitik"
"Pitik" (ayam) kata Erik mengulangi.
"krungu ora, onok suoro pitik" (denger tidak ada suara ayam)
Erik diam, mencoba mencuri dengar apa yang Damar dengar. namun, Erik menegaskan bahwa tidak ada suara apapun kecuali angin yang berhembus di sela dedaunan.
"ora onok" (gak ada)
mereka berpandangan untuk sepersekian detik, kemudian, melangkah cepat-cepat.
ada hal-hal yang tidak sepatutnya di ucapkan atau di dengarkan, salah satunya adalah suara ayam.
mendengar suara ayam seperti pertanda sial bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih di tempat ini.
Damar dan Erik memikirkan hal yang sama. "Kuntilanak" meski kalimat itu tidak di ucapkan, namun mereka sama-sama mengerti satu sama lain.
yang menjadi pertanyaanya adalah, suara ayam yang di dengar Damar dan tidak di dengar Erik, menegaskan sesuatu.
salah satu dari mereka,
sudah di sawang (incar) sedari tadi.
degup jantung dan suara nafas terengah-engah menegaskan bahwa mereka sudah berjalan lebih jauh, berfikir bahwa mereka sudah aman, Erik lah yang kemudian mengatakanya, "janc*k!! ambu sembujo" (sialan, bau bunga Sembujo)
mereka bertukar tatap
tidak ada yang tidak mengerti Erik seperti Damar, umpatan atau kalimat tidak pantasnya biasanya menegaskan perasaan ketakutan, dan itu cara Erik untuk menekanya. namun, terkadang Damar merasa hal itu bisa mendatangkan hal sebaliknya. kadang, dunia mereka, menangkap pesan berbeda
benar saja. suara ayam, bebauan bunga, kemudian berujung pada sosok di balik semak belukar. Erik lah yang pertama tau, namun, keinginan untuk memanggil Damar yang ijin untuk membuang air kecil, mendatangkan rasa penasaran yang besar.
Erik mengintip sosok asing itu.
sosoknya tinggi, setinggi Erik. ia berdiri di bawah pohon rindang, berdiri begitu saja. mengenakan baju yang terlihat seperti kain. warnanya mencolok dengan kegelapan hutan. putih.
Erik terus melihat, tatapanya terkunci pada kepalanya, yang sedari tadi tergedek ke kiri dan kanan
setelah beberapa saat, barulah Erik mengerti, kepalanya tergedek bukan karena tanpa sebab, melainkan, tepat di lehernya, rupanya menahan berat kepalanya, apalagi bila lehernya patah
saat itu, Erik sadar, sedari tadi, ia melihat sosok kuntilanak yang sering ia dengar ada di hutan
umumnya, memang sering terdengar kabar, bahwa penghuni atau kasarnya, penunggu-penunggu di dalam hutan adalah korban-korban kecelakaan atau bencana-bencana yang tidak umum, kini setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri, Erik akhirnya tau, bahwa mereka memang nyata
Damar sudah kembali, mereka pun melanjutkan perjalanan, rencananya sendiri, mereka harus sudah menempuh setengah dari jalur pendakian, yang menurut Damar bila di lihat dari lama jam mereka berjalan, tidak jauh lagi.
Erik lebih sering diam. hal ini membuat Damar penasaran. asap rokok mencoba mencairkan suasana, namun Erik lebih memilih diam, sesekali dia mencuri pandang ke belakang yang jelas-jelas tidak ada siapapun kecuali Damar.
"onok opo Rik?" (ada apa Rik?)... Lanjut Ke Part 2
sebuah cerita yang penah di ceritain oleh seseorang, seseorang yang menurut gw spesial, karena gw udah kenal dia lama. lama sekali, meskipun gak pernah satu sekolah, satu kampus, satu pekerjaan, tapi gw udah nganggap dia abang kandung
udah lama seinget gw buat maen ke kota pahlawan ini. salah satu kota yang jadi saksi perjuangan gw dulu buat nyari kerja serabutan, dan hari ini, gw balik lagi ke kota ini, buat ketemu seseorang.
seseorang yang gak tau kenapa selalu bikin gw kangen, kangen wejengan beliau.
namanya. adalah mas Damar.
ngomong soal mas Damar, gw jadi inget sebuah cerita dimana beliau menceritakan salah satu cerita pengalaman beliau, yang menurut gw menarik, terlepas dengan sebegitu ngerinya cerita itu, tetap saja, cerita ini adalah cerita yang selalu gw inget..
cerita tentang "Deso Gondo Mayit"
"Deso edan!!" (Desa Gila) kata mas Damar, matanya masih menatap kesana-kemari seolah peristiwa itu membekas di ingatanya.
"Edan yo opo?" (Gila bagaimana?) gw bertanya. penasaran.
"yo opo gak Edan, bendino onok ae sing mati. nek gak mati, jarene tondo balak"
(bagaimana gak gila, setiap hari selalu saja ada orang yang mati, kalau tidak ada yang mati, katanya justru mengundang musibah)
percakapan kami sahut menyahut. membuat gw semakin penasaran, sampai, pendangan gw teralihkan ketika motor Honda RC hitam, baru saja berhenti.
Mas Erik. sosok yang juga gw kenal akrab, datang, duduk dan memesan kopi, disini, gw melihat mas Damar melihat mas Erik.
"Rik, iki loh, ceritakno cerito sing awakmu ambek aku jaman kuliah biyen, sing nyasar gok Desa gondo mayit" (Rik, ini loh, ceritakan cerita kamu dan aku yang-
jaman masih kuliah, waktu kita nyasar di sebuah Desa bernama Gondo Mayit)
wajah tenang mas Erik tiba-tiba berubah, mengisyaratkan ketidakenakan, dan gw bisa menangkap raut ngeri itu dari alisnya.
"jek di iling-iling ae, wes lalik'ke ae" (masih di ingat saja, sudah lupakan)
mendengar itu, gw pun langsung memohon, sejujurnya, gw paling suka mendengar cerita-cerita seperti ini, toh gw udah gak asing lagi dengan hal-hal seperti ini.
awalnya, mas Erik tampak ogah menceritakan, berbekal bujukan bahwa gw yang akan bayar kopi di tambah rokok, untuk cerita
ini, gw pun, menyanggupi.
disinilah, gw melihat mas Erik, menunjuk sesuatu. arah Utara dari kota pahlawan ini, gw mengernyitkan dahi.
"eroh daerah T****S gok kidule gunung P*******N??" (kamu tau daerah ****** di utara gunung *********??)
gw mengangguk.
"yo, gok kunu Desone"
(disanalah Desa ini berada)
dan disinilah. cerita ini di mulai.
Mas Damar baru saja di tunjuk untuk menjadi ketua Mapala periode tahun 2011-2012, di universitas t**** b**** a******, salah satu Universitas yang cukup di kenal di kota ini.
menjabat menjadi ketua pada semester 6 bukanlah hal bijak, terlebih ketika ada agenda, bahwa bulan juli,
akan ada projek untuk mendaki puncak Mahameru, dimana 4 universitas bersama Mapala mereka akan bergabung
disinilah, mas Damar membuat satu acara dadakan untuk mempersiapkan kesanggupan team mereka pada bulan juli, tetapi, tak satupun anggota sanggup, karena bertepatan dengan UTS
karena minimnya persiapan, mas Damar pun berinisiatif untuk melanjutkan agendanya, meski bila harus seorang diri. mas Erik, ketua Mapala sebelumnya pun akhirnya ikut bergabung. karena toh ini untuk nama Universtas mereka, dan disinilah mereka dapat satu tempat yang di rasa cocok.
"Alas T*****" salah satu tempat untuk melatih stamina karena medanya yang menanjak dan juga tempat terbaik untuk mendapat momen dimana suhu tempat ini nyaris seperti suhu di puncak Mahameru.
sebelum mas Damar dan mas Erik tau, apa yang sudah menunggu mereka disana.
persiapan sudah di lakukan satu minggu sebelumnya, mulai dari ijin untuk mendaki sekaligus menyisir tempat yang akan di jadikan tujuan pendakian ini, meski jalur yang akan di tuju mas Damar dan Erik, bukan jalur pendakian pada umumnya, namun, mas Damar meyakinkan mas Erik,
perjalanan 6 jam, terasa singkat, terlebih di hari yang semakin petang, mas Damar masih memeriksa semuanya, kompas yang selalu di bangga-banggakan pun tak luput dari genggaman.
mobil mereka berhenti di salah satu pos yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
anehnya. malam itu. tidak ada satupun yang berjaga, seharusnya, ada satu atau dua penjaga, karena meskipun ini bukan jalur pendakian resmi, ini adalah jalur yang seringkali ramai pengunjung, karena tempat ini adalah satu tempat objek wisata yang terkenal.
menunggu, setidaknya itu yang di lakukan mas Damar, karena bagaimanapun laporan itu penting terutama untuk menghindarkan dari hal-hal yang tidak di inginkan.
namun, satu-jam dua jam berlalu, dan masih belum ada satu batang hidung pun yang muncul, hal itu, membuat mas Erik gusar
"wes ngene ae loh Mar, tinggalen KTP gok kene, tulisen pesan, bahwa kita sudah melaporkan. toh gak onok sing eroh sampe kapan petugas;e gak onk kan?" (sudah, begini saja Mar, tinggalkan KTP disini, tulis pesan, bahwa kita sudah melapirkan, lagian kita gak tau kapan petusanya ada)
Bimbang. itu lah yang mas Damar pikirkan. bukan sekali dua kali hal ini terjadi, namun satu yang mas Damar ingat.
hal-hal seperti ini biasanya di iringi dengan petaka yang buruk di langkah selanjutnya, namun, Erik benar. tidak ada yang tau kapan petuas itu akan kembali.
nekat. mas Damar dan mas Erik pun akhirnya melangkah masuk ke dalam hutan, bersiap untuk menyambut Penghuni yang sudah menunggu mereka.
jam menunjukkan pukul 8 malam, seharusnya jalanan belum segelap itu, apalagi jalurnya sendiri masih tidak seberapa jauh dari pos pertama, tapi, malam itu lain, jalur itu lebih gelap dari seharusnya, yang lebih aneh, tidak terdengar satupun binatang malam di sekitar sana.
medanya memang menanjak, seperti bukit setapak yang bila di telusuri lebih tinggi, namun masih bisa di tempuh dengan santai. disini, Erik yang memulainya.
"jare mbahku, Dam, nek gak onok suoro, biasane onok memedi" (kalau kata mbahku, kalau gak ada suara, biasanya ada hantu)
"Huss. di jogo lambene, gak apik ngomong ngunu" (huss, di jaga mulutnya, tidak baik ngomong begitu) kata Damar.
ada yang membuat Damar sedari tadi tidak tenang, berjalan di belakang Erik, seharusnya tidak ada lagi sesiapapun di belakangnya, namun, bulukuduknya berdiri sedari tdi
bukan kali pertama Damar merasakan ini, selama dia mendaki gunung dan masuk ke hutan-hutan seperti ini, bulukuduk atau leher meremang sudah menjadi makanan sehari-hari, namun, perasaan ini berbeda, seolah-olah, yang ini jauh lebih mengintimidasi.
namun, Erik tak merasakan apapun
melihat Erik membuka jalan dengan parang di tanganya setidaknya memberi ketenangan pada Damar, sampai, ia akhirnya mendengar suara lain.
Damar berhenti, di susul Erik.
"Rik, Rik" panggilnya. Erik mendekat, menatap Damar yang leluasa mencari-cari pandang.
"opo?" (apa)
"Pitik"
"Pitik" (ayam) kata Erik mengulangi.
"krungu ora, onok suoro pitik" (denger tidak ada suara ayam)
Erik diam, mencoba mencuri dengar apa yang Damar dengar. namun, Erik menegaskan bahwa tidak ada suara apapun kecuali angin yang berhembus di sela dedaunan.
"ora onok" (gak ada)
mereka berpandangan untuk sepersekian detik, kemudian, melangkah cepat-cepat.
ada hal-hal yang tidak sepatutnya di ucapkan atau di dengarkan, salah satunya adalah suara ayam.
mendengar suara ayam seperti pertanda sial bagi siapapun yang mendengarnya, terlebih di tempat ini.
Damar dan Erik memikirkan hal yang sama. "Kuntilanak" meski kalimat itu tidak di ucapkan, namun mereka sama-sama mengerti satu sama lain.
yang menjadi pertanyaanya adalah, suara ayam yang di dengar Damar dan tidak di dengar Erik, menegaskan sesuatu.
salah satu dari mereka,
sudah di sawang (incar) sedari tadi.
degup jantung dan suara nafas terengah-engah menegaskan bahwa mereka sudah berjalan lebih jauh, berfikir bahwa mereka sudah aman, Erik lah yang kemudian mengatakanya, "janc*k!! ambu sembujo" (sialan, bau bunga Sembujo)
mereka bertukar tatap
tidak ada yang tidak mengerti Erik seperti Damar, umpatan atau kalimat tidak pantasnya biasanya menegaskan perasaan ketakutan, dan itu cara Erik untuk menekanya. namun, terkadang Damar merasa hal itu bisa mendatangkan hal sebaliknya. kadang, dunia mereka, menangkap pesan berbeda
benar saja. suara ayam, bebauan bunga, kemudian berujung pada sosok di balik semak belukar. Erik lah yang pertama tau, namun, keinginan untuk memanggil Damar yang ijin untuk membuang air kecil, mendatangkan rasa penasaran yang besar.
Erik mengintip sosok asing itu.
sosoknya tinggi, setinggi Erik. ia berdiri di bawah pohon rindang, berdiri begitu saja. mengenakan baju yang terlihat seperti kain. warnanya mencolok dengan kegelapan hutan. putih.
Erik terus melihat, tatapanya terkunci pada kepalanya, yang sedari tadi tergedek ke kiri dan kanan
setelah beberapa saat, barulah Erik mengerti, kepalanya tergedek bukan karena tanpa sebab, melainkan, tepat di lehernya, rupanya menahan berat kepalanya, apalagi bila lehernya patah
saat itu, Erik sadar, sedari tadi, ia melihat sosok kuntilanak yang sering ia dengar ada di hutan
umumnya, memang sering terdengar kabar, bahwa penghuni atau kasarnya, penunggu-penunggu di dalam hutan adalah korban-korban kecelakaan atau bencana-bencana yang tidak umum, kini setelah melihatnya dengan mata kepala sendiri, Erik akhirnya tau, bahwa mereka memang nyata
Damar sudah kembali, mereka pun melanjutkan perjalanan, rencananya sendiri, mereka harus sudah menempuh setengah dari jalur pendakian, yang menurut Damar bila di lihat dari lama jam mereka berjalan, tidak jauh lagi.
Erik lebih sering diam. hal ini membuat Damar penasaran. asap rokok mencoba mencairkan suasana, namun Erik lebih memilih diam, sesekali dia mencuri pandang ke belakang yang jelas-jelas tidak ada siapapun kecuali Damar.
"onok opo Rik?" (ada apa Rik?)... Lanjut Ke Part 2
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Kisah Seram Desa Gondo Mayit | Part 1"