Tentang Kerusuhan Sampit, Kegagalan Merawat Perbedaan 18 Tahun Silam
Foto : Ilustrasi |
Serangan yang diduga aksi balas dendam itupun mendapat perlawanan. Pagi harinya, sekitar pukul 08.00 WIB, sejumlah warga Madura mendatangi rumah seorang Dayak bernama Timil yang diduga menyembunyikan salah satu pelaku penyerangan.
Saat itu Timil berhasil diamankan polisi, tetapi warga Madura yang tak puas langsung membakar rumahnya. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat Timil dan menewaskan 3 penghuninya.
Selang beberapa lama, tepatnya pukul pukul 12.00 WIB, pasukan Brimob Polda Kalimantan Selatan sebanyak 103 personel dengan kendali BKO Polda Kalteng tiba di Sampit. Puluhan tersangka berikut barang bukti senjata tajam kemudian dibawa ke Mapolda Kalteng di Palangka Raya. Namun, situasi tak kunjung kondusif.
Sampai malam keesokan harinya, Senin 19 Februari, ditemukan sejumlah jasad di berbagai sudut Kota Sampit. Demikian pula dengan aksi penyerangan rumah serta pembakaran kendaraan. Kondisi ini membuat Wakil Gubernur Kalteng mengirimkan bantuan 276 personel TNI dari Yonif 631/ATG ke Sampit pada malam itu juga.
Yang jelas, pada 18 dan 19 Februari 2001, Kota Sampit sepenuhnya dikuasai warga dari Madura. Selama dua hari sejak penyerangan rumah Matayo, warga Madura berhasil bertahan, bahkan berani melakukan sweeping terhadap permukiman-permukiman warga Dayak.
Namun, situasi berbalik pada 20 Februari 2001, ketika sejumlah besar warga Dayak dari luar kota berdatangaan ke Sampit. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.
Ratusan warga Dayak itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya yang merupakan pusat permukiman warga Madura. Mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkonsentrasi di berbagai sudut jalan Sampit.
Hari-hari berikutnya gelombang serangan warga Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak dikabarkan lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar. Bahkan, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura.
Berada di atas angin, warga Dayak melebarkan serangan ke berbagai kawasan di Kotawaringin Timur. Warga Dayak pun praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah, kecuali Pangkalan Bun yang tetap aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di tempat ini.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, korban jatuh mencapai sekitar 400 jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, ada 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya dirusak.
Sementara menurut data dari Polres Kotawaringin Timur, jumlah korban meninggal dari kedua belah pihak kerusuhan Sampit ada 315 orang. Jumlah rumah yang dibakar 583 dan dirusak 200. Sementara 8 mobil dan 48 sepeda motor dirusak.
Selain itu, banyak juga cerita memilukan dari mereka yang selamat. Dikutip dari SCTV, ada pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si istri turut mengungsi ke Madura.
Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak. Begitupun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak sulit menerima. Kini, ibu muda yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suami tetap di kampungnya.
Akibat kerusuhan ini pula, tercatat sedikitnya 33 ribu orang berlindung di tempat-tempat penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan. Secara bergiliran mereka dievakuasi menggunakan kapal-kapal milik TNI.
Kerusuhan Sampit yang menjalar hingga kesegala penjuru Kalimantan Tengah itu baru benar-benar berakhir sekitar pertengahan Maret. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura. Untuk memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu perdamaian di Sampit.
Kerusuhan Sampit pada 2001 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Bahkan, konflik besar terakhir terjadi pada Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.
Warga Madura yang pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 merupakan bagian dari program transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Jumlah warga Madura pun kemudian menjadi signifikan dalam percaturan ekonomi di Kalimantan Tengah.
Tahun 2000, tercatat warga transmigran membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak pun dikabarkan merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif.
Ditambah lagi, aturan-aturan baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, pertambangan dan perkebunan.
Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara warga Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.
Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan. Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi.
Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput sampai kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, seperti amarah yang meletup di Sampit 18 tahun lalu.
Konflik Sampit sendiri diyakini bermula dari perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000. Pada pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng Pangi, Kabupaten Katingan, dan membuat hubungan kedua pihak tegang.
Ketegangan itu kian hebat setelah perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas Ampalit. Sandong, seorang etnis Dayak, tewas akibat beberapa luka bacokan dalam perkelahian itu.
Kasus tewasnya Sandong sebenarnya telah ditangani polisi setempat, namun hal itu tak bisa meredam amarah keluarga dan tetangga Sandong. Dua hari usai peristiwa naas itu, 300 warga Dayak mendatangi tempat tewasnya Sandong untuk mencari pelaku.
Tak berhasil menemukan pelaku, kelompok warga Dayak itu melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua unit mobil, lima unit motor, dan dua tempat karaoke. Semuanya milik warga Madura.
Penyerangan itu membuat 1.335 orang Madura mengungsi. Ada dugaan bahwa salah seorang pelaku pembunuhan Sandong bersembunyi di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, kota tetangga Katinggan. Sampit pun memanas yang berujung pada kerusuhan besar pada Minggu nahas, 18 Februari 2001 dinihari. Dari sinilah benang merah rusuh Sampit bisa ditarik.
Tidak sampai satu tahun setelah kerusuhan berakhir, warga Sampit dan Kalimantan Tengah langsung berbenah. Warga Madura pun kembali berdatangan ke Sampit untuk mencari penghidupan. Sejak itu, Sampit mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, baik dibidang ekonomi maupun industri.
Sampit kini dikenal sebagai kota yang damai, sejahtera, dan keseharian penduduk yang rukun. Sampit tentu telah belajar dari kerusuhan Februari 2001, bahwa kebencian antarwarga sebangsa hanya akan memunculkan pihak yang kalah dan tanpa pemenang.
Sumber: Liputan6.com
Posting Komentar untuk "Tentang Kerusuhan Sampit, Kegagalan Merawat Perbedaan 18 Tahun Silam"