Potret Bersahabatnya Industri Hulu Migas dan Alam di Danau Zamrud Riau, Indonesia
Belanda dan entitas bisnisnya lebih memilih mengeruk batu bara di Sumatera Barat dan berladang tembakau di Sumatera Utara. Juga mengolah sumur minyak pertama di Indonesia yang ditemukan di Telaga Said, Sumut.
Di selatan Sumatera, mereka juga memulai eksploitasi minyak, tapi abai akan potensi Sumatera Tengah terutama kini yang disebut Riau.
Belanda dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda, menurut Richard H Hopper dalam "Penemuan Lapangan Minyak Minas" pada Majalah Oil Progres terbitan Caltex Petroleum Coorporation edisi pertama tahun 1976, menyerahkan kerja keras penemuan minyak di Riau kepada Perusahaan Amerika Serikat. Sumber lain menyebut konsesi diberikan Sultan Siak Ke-12, yakni Sultan Syarif Qasim II, kepada perusahaan minyak AS yang bernama N.V. Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) itu pada tahun 1937.
Hingga akhirnya Belanda angkat kaki dari Indonesia, sebuah kerugian besar ternyata di Minas, Riau minyak ditemukan dan menjadi yang terbesar di Asia kala itu. Sampai dengan tahun 1970-an, tercium lagi ada kandungan minyak di pedalaman hutan belantara Riau lainnya. Berada 25 kilometer dari pantai timur Sumatera, disepakati adanya potensi minyak yang selanjutnya dinamai Zamrud.
Kontraktor minyak AS itu yang merupakan patungan antara Standard Oil Company of California (Socal) dan Texas Oil Company (Texaco) yang kemudian mengubah namanya menjadi PT Caltex Pacific Indonesia (PT CPI) itu memulai eksplorasi dan ditemukan area Zamrud pada tahun 1975. Mereka membuka hutan, membangun jalan, melakukan pengeboran pada daerah yang rupanya merupakan rawa gambut. Pada tahun 1982 barulah minyak pertama mengalir dan mulai berproduksi.
Pekerjaan awal terasa sulit, hutan belantara ganas mengancam dengan binatang buas harimau, ular dan buaya. Hutan tropis khas gambut dengan banyaknya endapan tumbuhan mati membuat iklim menjadi panas dan pengap.
Dengan kondisi rawa gambut, untuk membuat jalan saja, tanah yang dikeruk langsung menimbulkan banjir. Kayu gelondongan terpaksa dibentang dengan ribuan ban bekas dilapisi tanah keras untuk membuat jalan poros sehingga terasa landai hingga sekarang. Setelah tak mungkin lagi untuk terus menebang kayu maka yang lainnya dilapisi dengan geotextile.
Awal pengerjaan oleh Caltex setelah Area Zamrud ditemukan pada 1975.(ANTARA/HO-Dok Pensiunan PT CPI)
Kerja keras terbayar ketika minyak mengucur dari pompa, siap dialirkan menuju stasiun pengumpul dan pipa penyaluran puluhan kilometer hingga dikapalkan di Pelabuhan Dumai. Jaringan pipa 18 inchi dari Siak ke Perawang menuju Minas tersebut adalah yang pertama diterapkan Skin Effect Current Tracing (SECT) untuk mengukur suhu.
Itu karena Minyak Zamrud kadar lilinnya tinggi, lebih mahal dibanding dengan Bekasap Duri. Artinya minyak akan membeku dalam temperatur rendah tertentu. Agar minyak yang membeku bisa mengalir di dalam pipa maka dipasang alat pemanas.
Saat produksi dimulai ditemukan juga kumpulan air yang berasal dari sejumlah sungai rawa. Dialah yang kemudian disebut Danau Zamrud. Terdiri dari dua danau yakni Tasik Pulau Besar dan Danau Bawah.
Panorama danau makin indah dengan adanya empat pulau di tengah yakni Pulau Besar, Pulau Tengah, Pulau Bungsu, dan Pulau Beruk. Pulau tersebut konon bisa berpindah sehingga sering disebut pulau hanyut. Penjelasan ilmiah mengatakan pijakan pulau yang berupa gambut membuatnya tergantung, tidak menempel pada dasar danau.
Konon katanya, Zamrud merupakan danau rawa gambut terbesar kedua di dunia, setelah yang ada di Brazil. Itulah keunikan Danau Zamrud yang berada di atas tanah gambut dan juga airnya yang berwarna cokelat kemerahan khas air gambut.
Ketika mendekati pulau, mata akan disuguhkan suasana hutan dengan bermacam pohon dan daun pandan raksasa. Danau Zamrud Tasik Pulau Besar sekarang berluas 28,4 ribu ha dan Danau Bawah seluas 360 ha.
Minyak di bawah Danau
Dalam proses pencarian minyak dari area Zamrud, Caltex dalam produksi blok yang dinamakan Coastal Plains Pekanbaru (CPP) itu juga menemukan adanya cadangan minyak di bawah Danau Zamrud. Sekitar tahun 1981, petinggi Caltex yang pernah menjadi ketua dewan direksi dan presiden komisaris, Julius Tahija memantau langsung Danau Zamrud.
Dengan menggunakan helikopter, dia terpukau dengan keindahan kumpulan air rawa gambut tersebut. Usai melihat keindahan yang luar biasa dari Danau Zamrud, ia pun berpikir untuk melakukan operasi di sana. Meskipun laporan seismik dan geologi menunjukkan adanya potensi yang besar.
Dalam kesempatan itu pula dia mengajak langsung Menteri Lingkungan kala itu Emil Salim melihat Danau Zamrud. Kepada Emil, Julius menyampaikan bahwa kawasan ini harus dijaga keindahan dan kelestariannya. Maka dari itu, dia memutuskan untuk tidak melakukan pengeboran.
Pada saat itu juga dia langsung meminta agar ini dijadikan suaka margasatwa. Artinya kawasan ini tidak boleh diganggu gugat kehidupannya. Di sinilah terlihat adanya harmonisasi antara kegiatan industri yang cenderung destruktif bersahabat dengan pelestarian alam.
Atas dasar itu, pengeboran yang saat itu dilakukan masih dengan pola tegak lurus tidak dilakukan. Padahal pengeboran di atas air seperti di atas laut juga sudah umum dilakukan.
Pihak Caltex akhirnya mencari alternatif teknologi baru agar minyak di bawah Danau Zamrud bisa berguna bagi manusia dengan tidak merusak alam. Maka dibuatlah penerapan teknologi directional drilling, pengeboran miring.
Untuk pola ini biayanya bisa enam kali lipat dari pengeboran biasa. Begitulah sampai sekarang hingga pengelolaan Blok CPP diberikan kepada Badan Operasi Bersama (BOB) PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu sejak 2002, cara seperti itu dilakukan demi menjaga keindahan Danau Zamrud.
Sekarang Danau Zamrud secara administratif terletak di Kampung Dayun, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Lokasinya berdampingan dengan operasi migas BOB PT BSP-Pertamina Hulu dan pada tahun 2016 ditetapkan sebagai Taman Nasional Zamrud di bawah pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau.
External Relation Manager BOB, Nazaruddin dalam perbincangannya dengan ANTARA mengungkapkan peranan konsorsium ini sangat besar dalam menjaga kelestarian Danau Zamrud. Pasalnya, akses darat satu-satunya menuju Danau Zamrud adalah melalui BOB BSP-Pertamina Hulu.
"Ibarat bioskop, orang kalau mau nonton film, kamilah tukang sobek karcisnya. Masuk kawasan ini tidak sembarangan harus ada surat izin dari BBKSDA Riau yakni Simaksi, surat izin memasuki kawasan. dibebankan kewajiban untuk menanyakan apakah pengunjung sudah punya simaksi atau belum," ungkapnya.
Setelah melalui pintu BOB, beberapa saat kemudian akan ditapaki jalan tanah yang dulunya sangat sulit dibuat. Bakal terlihat kehidupan industri migas mulai dari bengkel, sumur, pembangkit listrik, dan pipa-pipa jaring di sisi jalan.
Untuk menjelajahi Danau Zamrud bisa dimulai dari salah satu jalan BOB yang berada di antara dua danau yakni Sungai Rasau, penghubung Tasik Pulau Besar dan Danau Bawah. Bisa juga dari rumah penduduk tempatan yang bekerja sebagai pencari ikan di tepi Tasik Pulau Besar.
Speedboat BOB PT BSP-Pertamina Hulu ketika menemani rombongan Lingkar Temu Kabupaten Lestari di Siak pada 2019 lalu.(ANTARA/Bayu Agustari Adha)
Selain akses darat, Danau Zamrud juga bisa ditempuh dengan perjalanan yang menantang. Itu dengan menyusuri Sungai Rawa dari Desa Mekar Jaya, Kecamatan Sungai Apit selama 3-4 jam menuju Danau Bawah dan Pulau Besar. Namun ketika masuk juga perlu Simaksi.
Pengawasan BOB terhadap Danau Zamrud
Di samping sebagai penjaga karcis, BOB PT BSP-Pertamina Hulu juga melakukan pengawasan rutin terhadap ekosistem Danau Zamrud. Dalam dua tahun sekali. Menurut Nazaruddin, pihaknya melakukan studi harmonisasi lingkungan sebagai langkah pemantauan dan pengelolaan lingkungan sesuai dengan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dimiliki BOB.
Studi harmonisasi lingkungan dilakukan oleh Konsultan Independen yang terdiri pakar lingkungan dari berbagai perguruan tinggi. Konsultan itu mempelajari aspek biologi, vegetasi, flora dan fauna untuk memastikan kondisi lingkungan tetap dipertahankan. Pada BOB dilakukan oleh Quality, Health, Safety, dan Enviroment Department.
Di sini BOB berani mengklaim bahwa Taman Nasional Danau Zamrud seluas 31.484 ha ini merupakan kawasan konservasi yang masih sangat terjaga dibandingyang lainnya di Provinsi Riau karena di situ dilakukan tindakan preemtif dan preventif sehingga bisa berdampingan kegiatan industri dan lingkungan.
"Kita melakukan operasi migas yang tidak merusak lingkungan bahkan hidup berdampingan," ujarnya.
Konservasi pada dasarnya memang meniadakan kegiatan di tempat tersebut, tapi kegiatan BOB di Area Zamrud masuk dalam area khusus. Tersebab aktivitas migas di sana sudah terlebih dahulu ada sebelum ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Meskipun begitu, untuk pengembangan sumur eksplorasi dan eksploitasi yang baru belum memungkinkan dilakukan dengan regulasi yang ada saat ini. Akan tetapi, lanjutnya, semangat BOB tetap bersedia dan berupaya agar pihak terkait mengizinkan pengembangan baru mengingat besarnya cadangan di Bumi Zamrud namun tetap ramah lingkungan.
"Secara cadangan potensi sangat-sangat besar yang masih tersimpan. Kalau regulasi memungkinkan, cadangan itu bisa dipakai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," imbuhnya.
Rombongan Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada acara Festival Kabupaten Lestari 2019 di Siak bertolak dari Rumah Buk Car untuk menjelajahi Danau Zamrud.(ANTARA/HO-Sekretariat LTKL)
BOB mengoperasikan CPP mulai 8 Agustus 2002 mewarisi lapangan matang atau "brown field" dari Caltex. Penyerahan ini merupakan tonggak sejarah pertama pengelolaan migas di Indonesia kepada perusahaan daerah dalam hal ini entitas PT BSP yang mayoritas sahamnya dimiliki Pemerintah Kabupaten Siak.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, masyarakat Riau berkeinginan untuk mengelola sendiri sumber daya alam minyak dan gas bumi yang terkandung di Bumi Lancang Kuning. Keinginan tersebut diperkuat oleh lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Berangkat dari UU tersebut maka terbitlah Kebijakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah menunjuk PT BSP sebagai operator tunggal pengelola Blok Wilayah Kerja Blok CPP. Wilayah itu dialihkan kelolanya dari PT Chevron Pacific Indonesia kepada BOB antara PT Pertamina Hulu dengan PT BSP. Adanya konsorsium itu secara lebih khusus agar perusahaan daerah ini disiapkan untuk mengelola sendiri tahun 2022.
BOB PT BSP-Pertamina Hulu mengelola Blok CPP dengan wilayah operasi di Kabupaten Siak, Bengkalis, dan Kampar. Ada empat area migas yakni zamrud, beruk di Kecamatan Dayun dan Pusako, Kabupaten Siak. Area Pedada di Kecamatan Sabak Auh, Siak dan Kecamatan Siak Kecil, Bengkalis serta West Area di Kasikan, Kecamatan Tapung Hulu, Kampar.
Wilayah operasi dan produksi tersebut 70 persen berada di Siak, 24 persen di Bengkalis, dan 6 persen Kampar. Produksi atau liftingnya pada 2020 ini ditargetkan sekitar 9.800 barel per hari, dan tahun berikutnya sebanyak 10 ribu barel per hari.
Saat ini masih beroperasi 544 sumur produksi dan 115 sumur injeksi menyuntikkan air supaya minyak naik atas permukaan. Umumnya sudah memakai pompa listrik, namun masih ada pompa angguk di Kasikan dan Pedada.
Minyak dialirkan ke tiga stasiun pengumpul di Pedada, Pusako dan Zamrud sampai dialirkan sepanjang 80 km ke North Booster Station (NBS) di Minas. Di sini akan bercampur dengan minyak kontraktor kontrak kerja sama lainnya menuju Pelabuhan Dumai.
Migas BOB berkontribusi untuk dana bagi hasil Pemerintah Provinsi Riau dan Pemkab Siak. Juga ada pajak-pajak ke pemerintah pusat yang kemudian mengalir juga melalui dana perimbangan kepada daerah.
BOB-Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) juga menyalurkan dana tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR. Dalam hal ini BOB menyebutnya sebagai Program Pemberdayaan Masyarakat melalui program infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan kesempatan berusaha di enam kecamatan dan 19 desa wilayah ring satu.
Sumber: riau.antaranews.com
Posting Komentar untuk "Potret Bersahabatnya Industri Hulu Migas dan Alam di Danau Zamrud Riau, Indonesia "