Cerita Horor : KKN di Desa Penari, Versi Nur | Part 4
Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96). |
Selama diperjalanan pulang, Widya mencoba mengajak bicara Nur, namun, Nur tidak merespon ucapan Widya, ia memikirkan apa yang barusaja ia lihat bukan hal kebetulan semata. seperti sebuah pesan,
pesan apa?
Widya dalam bahaya, atau, dirinya yang sedang dalam bahaya.
Malam setelah sholat Isya, Nur berpamitan sama Ayu dan Widya, ia ingin menemui pak Prabu, untuk pengajuan proposal prokernya bersama Anton.
Ayu sempat bertanya pada Nur, apakah Anton menemani, namun Nur mengatakan, ia bisa sendiri, meski Ayu menawarkan diri, namun Nur menolaknya
ada hal yang mau di luruskan, bukan prokernya, namun apa yang sebenarnya terjadi disini, pak Prabu tahu sesuatu. setidaknya itu asumsi Nur.
dan, ia merasa harus bertemu beliau malam ini, seakan-akan ada yang membisikinya bahwa, ia harus pergi ke rumah pak Prabu.
benar saja. pak Prabu duduk di teras rumah, seakan-akan, beliau sudah menunggunya. namun, ada sosok lain yang duduk bersamanya, seorang lelaki renta, ia duduk, sembari mengisap bakau lintingan, dan ketika Nur datang, si lelaki tua, tersenyum seperti mengenalinya.
Nur mendekat, memberi salam, pak Prabu tersenyum ramah seperti biasanya, lalu mempersilahkan Nur duduk, namun, Nur lebih tertuju pada 3 gelas kopi yang tersaji.
Nur mendekat, memberi salam, pak Prabu tersenyum ramah seperti biasanya, lalu mempersilahkan Nur duduk, namun, Nur lebih tertuju pada 3 gelas kopi yang tersaji.
"niki tiang'e ten pundi to pak, kopi'ne kelebihan setunggal??" (ini yang punya kemana ya pak, kopinya kelebihan satu?)
"iku kopi, gawe awakmu, cah ayu" (itu kopi untuk kamu, mbak yang cantik) ucap lelaki renta itu. ia masih tersenyum, memandang Nur.
"ngapunten mbah, kulo mboten ngopi" (mohon maaf kek, saya tidak minum kopi)
"iku kopi, gawe awakmu, cah ayu" (itu kopi untuk kamu, mbak yang cantik) ucap lelaki renta itu. ia masih tersenyum, memandang Nur.
"ngapunten mbah, kulo mboten ngopi" (mohon maaf kek, saya tidak minum kopi)
"wes ta lah, di ombe sek, gak oleh nolak paringane tuan rumah nang kene yo. gak apik" (sudahlah, di minum dulu, gak baik nolak pemberian tuan rumah disini. tidak bagus pokoknya)
"nggih pak" ucap Nur
ketika Nur menyesap kopinya, aneh, kopi itu terasa seperti aroma melati, rasanya manis, dan ia tidak menemukan ampas, padahal dari luar, kopi itu terlihat seperti kopi hitam yang sekali lihat, bisa di rasakan rasanya akan sepahit apa.
si kakek bertanya. "yo opo rasane?"
"Enak mbah"
si mbah mengangguk puas, kemudian bertanya kembali. "sak iki ceritakno, onok opo, cah ayu mrene?" (sekarang, kamu boleh cerita, kenapa kamu kesini anak cantik?)
"kulo bade tandet ten pak Prabu mbah" (saya mau tanya sama pak Prabu kek)
"takon perkoro" (tanya soal)
"kulo di ketok'e memedi sing gedeh mbah, kulo wedi mbah, nganggo salah ten mriki, ngapunten nek kulo enten salah nang njenengan warga mriki" (saya di ikuti oleh sosok besar kek, saya takut. apa saya sudah melakukan kesalahan, sehingga saya dikejar, apa ada yang saya perbuat dan membuat tidak nyaman warga sini, saya minta maaf sebesar-besarnya)
saat itulah, pak Prabu bicara
"ndok, guk salahmu kok, sing ngetutke awakmu, iku ngunu, gak nyaman, mbek sing mok gowo" (nak, ini bukan salahmu, alasan kenapa kamu diikuti, karena kamu bawa sesuatu dari luar)
"maksude yok nopo pak, kulo mboten ngetos maksud njenengan" (maksudnya bagaimana pak, saya tidak mengerti maksud anda)
si kakek, kemudian melanjutkan. "awakmu ndok, iku ngunu, onok sing njogo, yo. sopo?? mbah dok, nah, iku sing gak di terimo nang kene. ngerti ndok"
(kamu itu nak, ada yang menjaga, siapa ya? nenek-nenek, nah, itu yang tida diterima disini. paham nak)
"kulo, njogo? ngapunten, kulo mboten paham" (saya, menjaga. mohon maaf, saya belum mengerti)
"wes, ngene ae, mene bengi, mampir rene maneh yo, tak duduno sesuatu"
(sudah begini saja, besok malam, kamu kesini, saya tunjukkan sesuatu sama kamu)
meski tidak mengerti maksud ucapan pak Prabu dan lelaki renta itu, Nur akhirnya kembali ke penginapanya. dengan membawa nama lelaki renta itu, yang menyebut dirinya dengan nama "Mbah Buyut"
yang pertama Nur lihat saat ia menginjak penginapan adalah, Widya. ia seperti sudah menunggunya, dan benar saja, Widya mengajukan pertanyaan aneh-, seperti darimana, kenapa tidak minta di temenin, namun, Nur tidak ingin menceritakanya, ia takut bila Widya dan yang lain terlibat.
Nur langsung pergi ke kamar, beristirahat, meski pikiranya masih menerawang jauh, ia tidak tahu harus melakukan apa selain menyimpanya sendiri.
berharap mendapatkan ketenangan dalam tidurnya, Nur malah mendapat mimpi, tak terlupakan, sepeti sebuah pesan untuknya.
di mimpi itu, Nur melihat sebuah tempat, banyak pepohonan yang tumbuh, salah satu yang tidak akan pernah Nur lupakan adalah pohon Jati kroyo atau lebih dikenal dengan nama jati belanda yang tumbuh di sepanjang mata memandang, bukan hanya itu, ada rimbun tumbuh tanaman beluntas.
aroma dedaunan beluntas yang wangu, membuat Nur mengingat kembali saat ia masih tinggan di pesantren, namun, Nur sadar, bahwa ia saat ini, berdiri di tengah hutan belantara, sendirian, dengan kegelapan malam yang menyiutkan nyalinya. Nur, mulai berjalan, menyusuri tanah lapang
sejauh mata memandang, Nur hanya melihat pepohonan yang besar diselimuti kabut keputihan, tepat ketika Nur tengah berjalan, ia mendengar riuh sorai dari kejauhan, dari suara itu, terdengar ramai orang, entah ada apa, sehingga keramaian itu, membuat Nur penasaran, ia pun mendekati
semakin mendekati sumber suara, Nur merasa janggal, entah apakah dari balik pepohonan atau semak belukar, ada yang tengah mengasinya, Nur hanya mengucap kalimat yang bisa menguatkan batinya, bahwa ia, disini, bukan berniat menganggu.
"mbah, ngapunten, cucu'ne numpang lewat, mboten gada niat nganggu. ngapunten nggih mbah" (mbah, mohon maaf, cucu'mu hanya ingin lewat, tidak ada keinginan mengganggu, mohon maaf ya mbah)
kalimat itu, terus Nur, ucapkan. dan, sampailah, ia, di keramaian itu.
banyak sekali orang, mulai dari yang tua, hingga yang muda, dari anak-anak sampai remaja, mereka semua berkumpul menjadi satu, didepan sebuah sanggar besar, ada alunan musik gamelan, yang mengalun merdu, tepat, ditengah sanggar, ada sosok penari yang sangat cantik.
"nggih pak" ucap Nur
ketika Nur menyesap kopinya, aneh, kopi itu terasa seperti aroma melati, rasanya manis, dan ia tidak menemukan ampas, padahal dari luar, kopi itu terlihat seperti kopi hitam yang sekali lihat, bisa di rasakan rasanya akan sepahit apa.
si kakek bertanya. "yo opo rasane?"
"Enak mbah"
si mbah mengangguk puas, kemudian bertanya kembali. "sak iki ceritakno, onok opo, cah ayu mrene?" (sekarang, kamu boleh cerita, kenapa kamu kesini anak cantik?)
"kulo bade tandet ten pak Prabu mbah" (saya mau tanya sama pak Prabu kek)
"takon perkoro" (tanya soal)
"kulo di ketok'e memedi sing gedeh mbah, kulo wedi mbah, nganggo salah ten mriki, ngapunten nek kulo enten salah nang njenengan warga mriki" (saya di ikuti oleh sosok besar kek, saya takut. apa saya sudah melakukan kesalahan, sehingga saya dikejar, apa ada yang saya perbuat dan membuat tidak nyaman warga sini, saya minta maaf sebesar-besarnya)
saat itulah, pak Prabu bicara
"ndok, guk salahmu kok, sing ngetutke awakmu, iku ngunu, gak nyaman, mbek sing mok gowo" (nak, ini bukan salahmu, alasan kenapa kamu diikuti, karena kamu bawa sesuatu dari luar)
"maksude yok nopo pak, kulo mboten ngetos maksud njenengan" (maksudnya bagaimana pak, saya tidak mengerti maksud anda)
si kakek, kemudian melanjutkan. "awakmu ndok, iku ngunu, onok sing njogo, yo. sopo?? mbah dok, nah, iku sing gak di terimo nang kene. ngerti ndok"
(kamu itu nak, ada yang menjaga, siapa ya? nenek-nenek, nah, itu yang tida diterima disini. paham nak)
"kulo, njogo? ngapunten, kulo mboten paham" (saya, menjaga. mohon maaf, saya belum mengerti)
"wes, ngene ae, mene bengi, mampir rene maneh yo, tak duduno sesuatu"
(sudah begini saja, besok malam, kamu kesini, saya tunjukkan sesuatu sama kamu)
meski tidak mengerti maksud ucapan pak Prabu dan lelaki renta itu, Nur akhirnya kembali ke penginapanya. dengan membawa nama lelaki renta itu, yang menyebut dirinya dengan nama "Mbah Buyut"
yang pertama Nur lihat saat ia menginjak penginapan adalah, Widya. ia seperti sudah menunggunya, dan benar saja, Widya mengajukan pertanyaan aneh-, seperti darimana, kenapa tidak minta di temenin, namun, Nur tidak ingin menceritakanya, ia takut bila Widya dan yang lain terlibat.
Nur langsung pergi ke kamar, beristirahat, meski pikiranya masih menerawang jauh, ia tidak tahu harus melakukan apa selain menyimpanya sendiri.
berharap mendapatkan ketenangan dalam tidurnya, Nur malah mendapat mimpi, tak terlupakan, sepeti sebuah pesan untuknya.
di mimpi itu, Nur melihat sebuah tempat, banyak pepohonan yang tumbuh, salah satu yang tidak akan pernah Nur lupakan adalah pohon Jati kroyo atau lebih dikenal dengan nama jati belanda yang tumbuh di sepanjang mata memandang, bukan hanya itu, ada rimbun tumbuh tanaman beluntas.
aroma dedaunan beluntas yang wangu, membuat Nur mengingat kembali saat ia masih tinggan di pesantren, namun, Nur sadar, bahwa ia saat ini, berdiri di tengah hutan belantara, sendirian, dengan kegelapan malam yang menyiutkan nyalinya. Nur, mulai berjalan, menyusuri tanah lapang
sejauh mata memandang, Nur hanya melihat pepohonan yang besar diselimuti kabut keputihan, tepat ketika Nur tengah berjalan, ia mendengar riuh sorai dari kejauhan, dari suara itu, terdengar ramai orang, entah ada apa, sehingga keramaian itu, membuat Nur penasaran, ia pun mendekati
semakin mendekati sumber suara, Nur merasa janggal, entah apakah dari balik pepohonan atau semak belukar, ada yang tengah mengasinya, Nur hanya mengucap kalimat yang bisa menguatkan batinya, bahwa ia, disini, bukan berniat menganggu.
"mbah, ngapunten, cucu'ne numpang lewat, mboten gada niat nganggu. ngapunten nggih mbah" (mbah, mohon maaf, cucu'mu hanya ingin lewat, tidak ada keinginan mengganggu, mohon maaf ya mbah)
kalimat itu, terus Nur, ucapkan. dan, sampailah, ia, di keramaian itu.
banyak sekali orang, mulai dari yang tua, hingga yang muda, dari anak-anak sampai remaja, mereka semua berkumpul menjadi satu, didepan sebuah sanggar besar, ada alunan musik gamelan, yang mengalun merdu, tepat, ditengah sanggar, ada sosok penari yang sangat cantik.
Nur, tidak pernah tahu, ada tempat seperti ini di desa ini, sebelumnya, ia memang tidak mengikuti pak Prabu saat mengajak semua rombongan temanya berkeliling kampung, maka, saat itu, Nur hanya berpikir, di tempat inilah, warga kampung mengadakan hajatan.
Nur masih belum menyadari, kenapa dan bagaimana ia bisa sampai disana, yang ia tahu, ia tersesat sampai akhirnya berakhir ditempat ini
ketika, Nur tengah asyik menikmati pertunjukkan itu, tiba-tiba, terdengar sayup seseorang berteriak, anehnya, hanya Nur yang merasa mendengarnya
teriakanya pilu, meminta tolong, Nur pun meninggalkan keramaian itu, matanya awas, mencari sumber suara yang meminta tolong itu, naas, ketika Nur tengah berjalan, ia terpelosok jatuh dari sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, mencoba bangkit, Nur melihat kakinya mati rasa.
saat itulah, Nur melihatnya.
seekor ular tengah menatapnya, ia mendesis, membuat Nur hanya bisa terpaku melihatnya.
sisiknya hijau zambrud, meski ukuranya tidak terlalu besar, ular itu cukup membuat Nur ketakutan, dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhinya.
masalahnya, adalah, setelah itu, muncul orang yang Nur kenal, sosok yang berjalan mendekati Nur, Widya, Widya memeluk ular itu, seperti peliharaanya, membiarkan ular itu, melilit lenganya, seakan-akan ular itu adalah temanya.
melihat itu, Nur tidak tahu harus bicara apa
karena setelah itu, Nur tersentak dari tidurnya setelah mendengar suara bising dari luar rumah.
meski masih dalam keadaan shock, Nur segera berlari menuju suara bising itu, rupanya, di luar rumah, ramai orang tengah berkumpul.
Nur melihat, Wahyu, Ayu, ibu pemilik rumah, Widya
entah apa yang mereka lakukan, Nur belum mengerti sama sekali.
yang ia dengar hanya ucapan ibu pemilk rumah.
"Wes, wes, ayo ndok, melbu ndok, wes bengi" (sudah, sudah, ayo masuk, sudah malam)
namun, ketika mata Nur dan Widya bertemu, ada tatapan kebingungan disana.
Wahyu kembali ke posyandu tempat ia menginap, sementara si ibu pemilik rumah, menggandeng Widya masuk ke rumah, hanya tinggal Ayu dan Nur yang ada di luar rumah.
"onok opo toh yu, kok rame men?"
(ada apa sih yu, kok berisik sekali?)
"Wahyu. jarene ndelok Widya nari nang kene. mboh lapo, aku yo kaget pas ndelok, gak onok Widya nang kamar" (Wahyu, bilang, melihat Widya sedang menari disini, entahlah kok bisa, aku juga kaget waktu melihat Widya tidak ada didalam kamar)
Nur yang mendengar itu, hanya diam, sembari memikirkan mimpinya.
Widya, hanya itu yang terbesit dalam pikiranya Nur. ia tahu, ada yang janggal dari dirinya, Widya dan tempat ini.
keesokan hari. sesuai janji yang Nur buat, ia bertemu dengan mbah Buyut dengan pak Prabu, kali ini, Nur di ijinkan masuk ke dalam rumahnya.
yang mbah Buyut pertama ucapkan adalah "ndok, mambengi ngimpi opo?" (nak, semalam kamu mimpi apa?)
Nur pun menceritakan semuanya, termasuk insiden saat ia melihat Widya yang di pergoki Wahyu tengah menari di malam buta.
mbah buyut hanya mengangguk, tidak berbicara apapun, ia hanya berujar, bahwa, yang ingin di ketahui Nur, adalah sosok hitam yang mengikutinya.
Malam itu juga, pak Prabu, mbah Buyut, dan Nur pergi ke sebuah batu, tempat pertama kali Nur melihat sosok hitam itu.
disana, pak Prabu, menggorok seekor ayam, dimana darahnya di tab di sebuah wadah, sebelum menyiramkanya di batu itu.
"ndok, awakmu percoyo, nek gok alas iki, onok deso maneh, sing jenenge Deso Brosoto" (nak, kamu percaya, di hutan ini, ada desa lain yang namanya desa halus)
Nur mengangguk, ia percaya.
Mbah Buyut tersenyum, "sing bakal mok delok iki, siji tekan atusan ewu wargane deso iku"
(yang akan kamu lihat sebentar lagi, itu satu dari ratusan ribu penghuni dari desa tersebut)
Nur terdiam mendengarnya, dan benar saja, ia bisa meihat makhluk hitam itu, tengah menjilati batu yang baru di guyur darah ayam kampung itu.
Makhluk itu, hanya menjilati darah itu, kemudian, pak Prabu mengatakanya.
"awakmu sadar utowo gak, asline, awakmu gowo barang alus sing di anggap tamu nang deso iki, coro alus'e ngunu yo ndok" (kamu sadar atau tidak, sebenarnya, membawa tamu ke desa ini, cara gampangnya gitu)
"tamu sing mok gowo, iku ngunu seneng ngejak geger ambeh warga deso iki" (tamu yang kamu bawa itu, suka sekali membuat masalah di desa ini)
"masalahe, sing mok gowo iku wes di kunci nang njero Sukmo'mu, nek di jopok, awakmu isok mati" (masalahnya, barang itu sudah terikat di-
sukma kamu, bila di ambil, bisa mati)
"aku wes ngerembukno karo mbah Buyut, nek barangmu gak usah di jopok, tapi, di culno, selama awakmu masih onok nang kene, barangmu kepisah ambek awakmu"
(aku sudah berunding sama mbah Buyut, bila apa yang ada dalam diri kamu, gak usah-
diambil, tapi di lepaskan saja, selama kamu masih disini, dia tidak akan pergi jauh)
"barang nopo to mbah?" (barang seperti apa?)
Mbah Buyut mendekati Nur, sebelum, menarik ubun-ubunya, kemudian melemparkanya ke batu itu.
setelah itu, Nur, tidak bisa melihat makhluk hitam itu lagi.
"wes mari ndok, sak iki, awakmu isok fokus garap tugasmu, gak bakal onok sing nganggu maneh" (sudah selesai nak, sekarang, kamu bisa fokus garap tugasmu, gak akan ada yang ganggu kamu lagi)
Siang itu, Nur dan Anton, tengah mengerjakan proker mereka bersama warga desa, ketika hari sudah siang, ia tanpa sengaja melihat Widya dan wahyu, serta pak Prabu dan Ayu tengah mengendarai motor, mereka pergi meninggalkan desa, entah kemana.
"Nur, kancamu iku loh kok aneh seh" (Nur, temanmu itu kok aneh sih) tiba-tiba, Anton... Lanjut ke Part 5
Part 5 mana om... Aku pendukungmu
BalasHapusLagi proses om sabar yah, bentarlagi terposting ko, pantengin terus pokoknya, terimakasih...
BalasHapusSiap om
HapusBg part 5 Dan 6 belumkah bg? Trimakasih
BalasHapusSudah semua ko bg sudah lengkap ceritanya. jumlah semuanya ada 10 part, silahkan di klik saja yah.. terimakasih sudah membaca di blog ini.
Hapus