Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 9

Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96).
Halo sobat semuanya. Akhirnya sampai juga kita di cerita part ke 9. Bagi yang sudah baca dari Part 1 pasti bakalan nyambung jalan ceritanya. Nah dibawah ini masih merupakan kelanjutan dari yang Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 8


Yuk kita simak bersama kelanjutannya dibawah ini :

...Konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka.

Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya.

Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai

Ketika Widya sampai di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga, disana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

Jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an disekitarnya yang tidak tersentuh.

Sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak, namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak, kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. namun Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang.

Jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.

Hal yang cukup di sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop, memang, apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending.

Ya. suara yang familiar, nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur, sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu.

Bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi, semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana, Widya tidak sendirian.

Namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak.

Tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.

Tumbuhanya kecil, tapi rimbun, samping kiri kanan, sudah gak bisa di lewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar, namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya seperti aroma melati,

Seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah, Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti disini.

Jadi, jalan menurunya di tutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di lilit tali puteri.

Di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.

Ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung.

Disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.

Saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti tempat ini penuh sesak, namun, tidak ada siapapun disana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap hening sekali.

Keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini.

Namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal.

Ayu.

Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN disini, Ayu.

Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,

Namun di malam ketika mereka berdebad mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong, Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain, termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.

Seperti menangkap angin, ada suara tangisanya, namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari, tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti ia di tatap dari berbagai sudut.

Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.

Widya mendekatinya, namun enggan membukanya, ia mengelilingi gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar suara Bima, di ikuti suara perempuan mendesah, sangat jelas, namun Widya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana.

Leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.

Saat Widya masih bersusah payah mencari cara untuk melihat, nasib baik, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk mengintip, darisana Widya menyaksikanya langsung, Bima, sedang berendam di Sinden (Kolam) di sekitarnya, ia di kelilingi banyak sekali ular besar.

Melihat itu Widya kaget, dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka tahu, ada tamu tak di undang.

Melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.

Saat lari itulah, suara tabuhan gong di ikuti suara kendang, terdengar lagi, suara gamelan itu, terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan, dan Widya melihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di tempat ini.

Dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot, dari yang wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah.

Dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.

Suara yang nyaris memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti.

Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya.

Disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,

Matanya Ayu sembab, seperti sudah menangis lama, tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari, lari, tanpa tahu apa yang terjadi, Widya langsung lari, melewati kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar.

Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.

Sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar, setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya mengikuti anjing itu.

Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.

Tapi rupanya, Widya salah.

Seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung.

"Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya disini, anaknya sudah kembali)

Bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.

"Mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki" (kesini nak, kesini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar) seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti.

Si ibuk menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung, di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya, Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang.

"wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek"

(sudah di cari sampai ujung *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk)

Sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

Ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul disana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. seperti melihat hantu, lalu, terlihat dari dalam, Pak Prabu keluar, wajahnya, mengeras melihat Widya

Mata pak Prabu mendelik, melihat Widya. "tekan ndi ndok?" (darimana kamu nak)

Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.

Saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu di penuhi orang yang duduk bersila, mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya di tutup selendang, di ikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu?" (darimana kamu Wid?) ucap Nur yang langsung memeluk Widya.

"onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur)

Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup"

Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi, matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan

Dari Pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya.

"sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi)

Mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"

"Pripun mbah?" (bagaimana mbah?)

"Yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?)

Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dulu)

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya seperti di cekik, membuat Widya... Lanjut ke Part 10  (Ini adalah Part akhir dari cerita ini).

Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 9"