Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 8

Foto : Twitter / @SimpleM81378523 (edit: riandi96).
Hai sobat semuanya. Sudah Baca ceritanya dari Part 1 belum? Bagi yang sudah baca dari Part 1, pasti bakalan nyambung jalan ceritanya. Dan bagi yang belum silahkan klik dulu cerita Part 1 nya diatas.  Nah dibawah ini masih merupakan kelanjutan dari yang Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 7


Saat itulah, Widya melihat Nur menundukkan kepalanya dengan posisi duduk itu, seakan-akan ia tertidur di atas kursi kayunya. membuat Widya panik, mendekatinya.

Widya menggoyang badanya, namun Nur tidak bergeming, saat Widya mencoba menyentuh kulit wajahnya yang dingin, Nur terbangun dan melotot melihat Widya, tatapanya, seperti orang yang sangat marah.

"Cah Ayu" (anak cantik) hal itulah yang pertama Widya dengar dari Nur, hanya saja, suaranya, itu bukan suara Nur. suaranya menyerupai wanita uzur. melengking, membuat bulukuduk Widya seketika berdiri.

Namun, saat Widya mencoba pergi, tanganya sudah di cengkram sangat kuat.

"kerasan nak nang kene," (betah tinggal disini)

Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, benar-benar melengking.

"yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (gimana anak cantik, sudah kenal sama penunggu disini)

Widya mulai menangis.

"lo lo lo, cah ayu ra oleh nangis, gak apik" (anak cantik gak boleh menangis) Matanya masih melotot, pergelangan tangan Widya di cengkram dengan kuku jari Nur.

"cah lanang sing ngganteng iku ae wes kenal loh kale Badarawuhi" (anak ganteng itu saja sudah kenal sama dia)

"Nur" ucap Widya sembari tidak bisa menahan takutnya lagi, suasana di ruangan itu benar-benar baru kali ini bisa membuat Widya setakut ini.

"iling Nur iling" (sadar Nur sadar)

Nur tertawa semakin kencang, tertawanya benar-benar menyerupai tertawa yang membuat Widya diam takut.

"awakmu gak ngerti, sopo aku" (kamu gak ngerti siapa aku?)

"mbok pikir, nek gak onok aku, cah ndablek model koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, aku, sing jogo Nur sampe sak iki, ra tak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. ngerti"

(kamu pikir, kalau tidak ada aku, anak nakal seperti temanmu yang sudah membawa penunggu disini bisa mencelakai cucuku, aku yang selama ini sudah menjaganya, tidak akan ku biarkan mereka mendekati cucuku. mengerti)

"nyilokoi nopo to mbah" (mencelakai bagaimana?)

"cah ayu, kancamu siji bakal ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing bakal kedaden, tak ilingno, cah ganteng iku, bakal gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki"

(anak cantik, satu dari temanmu tidak akan bisa kembali, jika kamu belum sadar, semuanya akan terjadi, ingatkan anak itu, yang sedang membawa petaka jika di biarkan semuanya akan kena batunya di desa ini) setelah mengatakan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.

Widya menggotong Nur kembali ke kamarnya, menungguinya sampai ia terbangun dari pingsanya, dan benar saja, ia tidak tahu kenapa ia bisa tertidur, mungkin terlalu terbawa ketika sholat.

Nur bercerita saat di pondok, kalau sudah kudu menikmati sholatnya, biasanya sampai ketiduran.

entah apa yang Widya pikirkan, sampai tiba-tiba ia bertanya hal yang Nur paling tidak sukai

"sejak kapan bisa lihat begituan?"

Awalnya, Nur salah tingkah, tidak mau cerita, sampai ketika Widya menungguinya, Nur mengatakanya, sejak mondok, ia bisa melihatnya, karena memang harus

"Ghaib itu ada" kata Nur, "sebenarnya, tiap orang ada yang jaga, jenisnya berbeda-beda, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang cuma mengikuti, ada yang cuma numpang lewat"

"awakmu onok sing jogo?" (kamu ada yang jaga?) tanya Widya.

"jarene onok" (katanya ada) ucap Nur, suaranya pelan, sepeti tidak mau menjawab.

"kok jarene" (kok katanya)

"aku ra tau ndelok Wid, aku di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo aku, wujud'e mbah dok, mbahku biyen)

(aku belum pernah melihatnya langsung, aku di kasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok, katanya, wujudnya menyerupai nenekku)

Setelah mendengar itu, Widya hanya mendengar Nur, bercerita tentang pengalamanya selama mondok, namun, Widya lebih memikirkan hal lain.

23 Hari, sudah di lalui, setiap hari, perasaan Widya semakin tidak enak, di mulai dari satu persatu warga yang membantu prokernya mulai tidak datang satu persatu, kabarnya mereka jatuh sakit, anehnya, itu terjadi di proker kelompok mereka, yang berurusan dengan Sinden.

Pernah suatu hari, Widya mendengar secara tidak langsung, kalau ini semua karena Sindenya mengandung kutukan, tapi pak Prabu bersihkeras itu mitos, takhayul, sesuatu yang membuat warga desanya ketinggalan jaman.

Namun, satu kali, Widya pernah di kasih tahu warga, bila Sinden ini

Ada yang jaga.

katanya, Sinden ini dulu, sering di gunakan untuk mandi oleh dia. dia yang di bicarakan ini, tidak pernah di sebut warga, namun yang mencurigakan dari kasus ini adalah, nama Sinden ini, adalah Sinden kembar.

Sinden kembar. Widya selalu mengulangi kalimat itu.

Sinden kembar, membuat Widya semakin penasaran

Alasan kenapa pak Prabu memasukkan ini menjadi proker adalah, agar air sungai dapat di alirkan ke Sinden ini, sehingga warga tidak perlu lagi jauh-jauh mengambil air ke sungai yang tanahnya terjal, namun, seperti ada yang ganjil

Malam itu, Ayu mengumpulkan semua anak, perihal masalah yang mereka hadapi, hampir setengah warga yang membantu proker mereka tidak mau melanjutkan pekerjaanya. alasanya bermacam-macam, sibuk berkebun sampai badanya sakit semua.

Dari semua anak yang punya usul, hanya Bima yang tidak seantusias yang lain.

Di malam itu juga, Widya ingat yang di katakan Wahyu, setiap malam, Bima pergi keluar rumah, entah apa yang di lakukanya.

Widya, sengaja begadang hanya untuk memastikan, dan ternyata benar, malam itu

Bima pergi keluar rumah.

Widya masuk ke kamar Bima, disana ada Wahyu sama Anto, yang pertama Widya lakukan, membangunkan Wahyu, meski enggan, Widya terus memaksanya, setelah Wahyu benar-benar terjaga, Widya memberitahu kalau Bima baru saja keluar.

Wahyu hanya menatap Widya keheranan,

"aku lak wes tau ngomong su" (aku kan sudah pernah bilang jing)

"lha ya, ayo di tutno, nang ndi arek iku" (lha iya, makanya, ayo kita ikuti, kemana anak itu)

"gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne" (buat apa, palingan dia ke rumah prabu, memperbaiki tong-

Sampahnya yang dari bambu)

"yo wes mboh" (ya sudah terserah)

Widya keluar dari kamar itu, kemudian ia pergi menyusul Bima, sendirian.

Bima itu anak cowok yang paling religius, sama kaya Nur, karena mereka memang sudah dekat di kampus. tapi, Anton sering cerita, kalau kadang, dia memergoki Bima Onani di dalam kamar, dan itu tidak sekali dua kali, masalahnya adalah, saat Bima melakukan itu, ada suara perempuan.

Widya tidak terima Bima di katain itu oleh Anton, Widya pun bertanya darimana dia tahu Bima onani?

"heh, mbok pikir aku ra eroh wong onani iku yo opo?" (kamu pikir saya gak tau bagaimana cowok onani?)

Widya masih diam, mendengarkan penjelasan Anton.

"sing dadi masalahe iku guk Bima Onani" "kabeh lanangan pasti tahu onani, aku gak munafik, masalahe, onok suara wedok'e,??"

(yang jadi masalahnya itu bukan Bima onani, semua cowok pasti pernah, aku gak munafik, masalahnya, ada suara perempuanya.??)

"pas tak enteni, sopo arek iku, nek gak awakmu, pasti Ayu nek gak Nur, tapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui" (ketika ku tunggu, siapa perempuan itu, ku kira itu kamu, kalau gak ayu atau nur, ternyata, tidak ada siapa-siapa di dalam kamar sama dia)

"trus" tanya Widya.

"suoro sopo sing tak rungokno lek ngunu?" (suara siapa dong yang ku dengar waktu itu)

"masalahe, aku wes sering krungu, mesti, onok suoro iku" (masalahnya, aku sudah sering dan selalu dengar suara itu)

cerita Anton membuat pandangan Widya berubah, dan malam itu, ia melihat Bima berjalan jauh ke timur, arah menuju sebuah tempat yang seringkali membuat Widya merinding tiap memandangnya.

Tipak Talas.

Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini, selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

Pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda, sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain.

Hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah 'Mati'.

Lalu, apa maksud penanda warna merah?... Lanjut Ke Part 9

3 komentar untuk "Cerita Horor : Mahasiswa KKN di Desa Penari, Bikin Merinding! | Part 8"

  1. Sangat creepy critanya
    Saya juga pernah baca di creepy96.blogspot.com juga ada 3 versi cerita

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih hasan sudah berkunjung dan membaca cerita di blog ini. Ikuti terus blog ini untuk membaca update postingan terbaru yah...

      Hapus
  2. buat sutradara yg akan membuat film desa penari, tolong ditonjolkan cerita budaya jawa, bukan ceritakan sensualitas seperti film hantu yg sudah-sudah, apalagi detail adegan bima dan ayu lagi wik wik wik.. tolong ya film itu arahnya ke film holywood, jangan lagi diteruskan film-film horor yg ujung-ujungnya mengumbar payudara dan keseksian, sedangkan itu film horor. film horor itu buat takut, penasaran dan tegang. anehnya film horor versi indonesia hanya buat tegang alat kelamin pria. tolong ya buat film yg berkualitas.

    BalasHapus