Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 4

Cerita dibawah ini merupakan kelanjutan dari Bagian ke 3 ( silahkan di klik bagi yang belum baca, biar nyambung ceritanya dari awal).

Lama kelamaan aku mencium bau darah yang pekat di tempat cuci. Baunya sungguh anyir. Sampai-sampai aku pusing. Makin mendekat ke mesin cuci, baunya makin kuat. WTF! Aku melihat 3 anjing besar mati di atap rumah nomor 13! Dari tempat bale-bale, bangkai anjing itu gak kelihatan. karena digantung di bagian bawah teralis. Ini apaan, ya Lord!
Aku ngacir menuruni tangga. Teriak kusebut nama ibuku. Ibu dari dalam kamar habis salat Maghrib ikutan panik. Kenapa? Kenapa? tanya ibu. 
Bangkai, bangkai, kataku
Bangkai apa?
Anjing, anjing, ada bangkai anjing di tempat cucian, kataku sambil atur nafas.
Ibu keheranan sekejap. Sambil membenahi mukenanya, dia pun ke atas. Dan .... Mana bangkai? Kamu ngigau. Makanya kalau maghrib di dalam rumah sebentar. Bikin panik aja, ibu beringsut ke dalam sambil marah-marah. 
Aku mendekat ke arah atap rumah nomor 13. Ibuku tak salah. Bangkai itu sudah tak ada! Sayup-sayup aku mendengar suara nyanyi. Entah kenapa mataku memandang ke atap rumah nomor 13 yang bolong. Aku mendekat ke arah atap itu, lalu melihat di bawahnya. What?! Udah gak ada plafonnya! Aku samar melihat bagian rumah tersebut karena cuma diterangi cahaya beberapa lilin. DAN ... Aku melihat wanita itu. Rambutnya ngebob, kayak Dora the Explorer tapi acak-acakan. Dia seperti menggendong sesuatu. Di lantainya kayak ada bercak-bercak apa itu, ya. Mataku memicing, melebar, memicing, dan .... melebar melihat wanita itu ternyata memperhatikanku! MAMPUS! Aku buru-buru ngacir lagi ke bawah! HUAAAAA!
Bu, besok saja kukerjakan cucian, ujarku ketus.
Lah, kan sudah direndam, kata ibu.
BESOK, BU! Kalau kubilang besok ya besok! nadaku meninggi.
Ibu diam. Orangtuaku mengerti, kalau aku sudah marah, pasti memang ada alasan kuat. Aku langsung cuci kaki, masuk kamar, dan merebah. Mengingat wajah wanita itu. Putih pucat, lingkaran matanya hitam seperti tak tidur berhari-hari, bibirnya celemongan lipstik atau darah aku tak tahu, yang jelas berwarna merah. Orang gila, mati saja kau, aku misuh-misuh dalam hati sampai ketiduran.
---------------------
Jumat ceria di sekolah. SMP tempatku belajar cukup jauh dari rumah. Sekali naik angkutan umum. Jaraknya dari Bunderan HI ke Semanggi, lumayan dong kalau jalan kaki. Lantaran anak baru dan merasa gak selevel dengan SMP negeri, aku malas bergaul. Beda banget sama sekolahku ketika SD dan 1 SMP alias di kelas 7, aku masih di sekolah swasta Katolik yang cukup ngehits. Pindah ke Bekasi, di SMP Negeri pula, duh, jatoh pasaran, pikirku saat itu.
Di kelas 3 SMP atau kelas 9, aku baru kenal dekat dengan Yogi yang ternyata sekomplek denganku. Bukan cuma sekomplek, Yogi ternyata juga tinggal di jalan Kawi. Rumahnya nomor 10. Nih petanya. Sebenarnya aku sudah tahu sejak pertama kali pindah ke komplek ini. Aku sering ketemu Yogi ketika nunggu angkot. Dia bawa motor sendiri, tapi nyelonong aja tanpa menyapaku. 

Rumahnya Yogi (Foto : Dok. Pribadi)

Pucuk dicinta ulam tiba. Semoga Yogi bisa memuaskan dahaga kepoku bertanya soal wanita di rumah nomor 13. 
Eh, Yogi, gue Jen, kataku menyodorkan tangan.
Gue udah tahu, anak baru kan, lu, katanya agak songong.
Aku menarik tangan kembali sebab dia tak menyambut. 
Gue mau tanya sedikit, lu bisa bantu gue?
Soal apa?
Ibu-ibu di rumah nomor 13.
Yogi menatapku. Aku melihat kekhawatiran di wajahnya. 
Emang kenapa mau tau?
Gue ngerasa aneh aja. Masak tetangga sendiri gue gak kenal? Udah setahun gue di sana. Gue tau lu rumahnya deketan sama dia. Ceritain sedikit, ya.
Yogi diam beberapa saat. Yang gue tau, dia bukan orang, tapi kuntilanak, kata Yogi dengan suara pelan.
Eh buset! Kuntilanak katanya! Gue salah denger apa gimana.
Apa? Kuntilanak? Lu gak salah?
Engga. Jadi dia itu dulunya suka ke dukun. Jiwanya dijual, trus jadi kuntilanak. Ada pakunya di kepala, katanya. Gue denger-denger aja. Makanya dia gak pernah keluar. Aslinya udah mati dia itu kalau pakunya dicopot, Yogi enteng banget cerita. Datar. Gak ngerasa ngeri atau apalah. 
Tapi, lu yakin?
Yakin, sih. Habis gak pernah keluar. Gue udah tinggal di sana dari SD kelas 5. Gue sedikit pun gak pernah ngeliat dia. Cuma diceritain. Dulu keluarga bahagia. Ada suami, anak, terus pada ninggalin dia semua. Katanya gara-gara ilmu hitam tadi. Itu aja yang gue tau, kata Yogi
Btw, lu udah ada temen sebangku? Sama gue aja, Yogi menawarkan. Aku pun setuju. Demi informasi yang lancar.
----------------
Pulang ke rumah, sorenya aku main ke tempat Yogi. Tuh anak belum pulang ternyata. Ya sudah, kuhabiskan waktu dengan bersepeda. Masih ada matahari. Iseng-iseng aku berhenti di rumah nomor 13. Kembali menatap rumah itu, terutama bagian tirainya. Berharap wanita di dalam situ melihatku. Sengaja nantangin, masih terang. Kalau gelap, aku gak akan tahu siapa yang kuhadapi.
Lama aku berdiri, dia gak nongol-nongol. Ah, buang-buang waktu. Mending aku sepedaan lagi. Aku mengambil sepeda yang kurebahkan di tengah jalan. Saat hendak mengayuh, mendadak kakiku seperti ada yang menahan. Berat banget. Sepedaku juga jadi macet, rantainya ogah memutar. Ini kenapa?
Jen ....
WHAT'S! ADA SUARA MEMANGGILKU PADAHAL GAK ADA ORANG DISITU!
Jen ....
Tubuhku kaku. Hari sudah menjelang maghrib, tapi aku tak bisa kemana-mana. Tubuhku tak bisa bergerak, hanya kepala yang bisa digerakkan. Lidahku kelu, mau teriak minta tolong gak bisa. Aku menengok ke arah rumah itu, dan di tirainya, wanita itu melongokkan kepala. Wajahnya putih keabu-abuan. Dua matanya yang mengerikan menatapku. Senyumnya mengembang memperlihatkan gigi yang berlumuran darah. Jen ....
TERNYATA DIA YANG MEMANGGILKU! TAU DARI MANA NAMAKU? SIALAN!
Sekitar satu menit aku memberanikan diri menatapnya. Aku berusaha tak berkedip. Tantangin sekalian. Apa maunya dia? 
Dia menatapku tajam, senyum dan senyum. Aku merasa ada sesuatu yang janggal, dia seperti mendekat. Mendekat .....
Woi Jen! Jen! Ngapain di sini? Ternyata Yogi sudah ada di sebelahku.
Hari sudah maghrib. Matahari sebentar lagi benar-benar hilang. Badanku yang tadinya kaku sekarang sudah agak melemas tapi bulu kudukku tetap tegak. Aku memandangi Yogi dengan wajah ketakutan. Yogi memandangiku lalu memandangi rumah nomor 13.
Pulang aja yuk, Jen. Gue anter. Lu mah nyari perkara, kata Yogi.
Aku menurut.
Tiba di rumah, Yogi menceritakan semua pada ibuku. Wajah ibuku serius. Tapi beliau mencoba untuk bijak menanggapi semuanya.
Yang Yogi dengar-dengar itu kan semua belum terbukti. Kita tidak boleh prasangka buruk sama orang lain. Mungkin ini cara Tuhan menegur Jen karena sampai maghrib belum pulang. Kan pamali maghrib-maghrib di luar, kata ibu.
Yogi dan aku cuma pandang-pandangan. Akhirnya dia pamit pulang. Permisi tante,katanya sambil salim ke ibuku.
Aku mengucapkan terima kasih ke Yogi sambil janjian besok ke sekolah. Yogi berjanji menjemputku pukul 06.30 WIB agar kita berdua tak terlambat.
Setelah aku menutup pintu, ibu menyuruhku duduk lagi. Beliau menasihatiku.
Lain kali, jangan kamu usik orang lain supaya orang lain tak mengusikmu. Keingintahuanmu yang besar bisa mencelakakanmu, Jen. Tolong dimengerti kata-kata ibu. Andaikan yang Yogi ceritakan benar, lalu kamu mau apa? Sudahlah. Tugasmu itu belajar, tak perlu mencari tahu kehidupan orang lain, kata ibu.
Aku hanya mengangguk. Ibu meminta sekali lagi agar mengabaikan apa pun yang sekiranya ku dengar, ku cium, dan ku lihat mengenai rumah nomor 13. Ibu juga menyuruhkan terus...
Bersambung ke Bagian ke 5

2 komentar untuk "Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 4"

  1. keren tulisannya. selamat berkarya teroos. saya suka juga tampilan blognya
    btw, jangan lupa mampir juga ke blog saya Blog Alister N ya. sekalian krisan kalo berkenan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru bisa membalas. Terima kasih sudah berkunjung ke blog ini, kalau soal tulisan saya melansir dari GenPI.co. oh iya saya juga sudah melihat blog http://myalister.wordpress.com/ tapi belum beca semuanya hehe

      Hapus