Cerita Horor : Kaki yang Ke-15 Itu Bukan Manusia,Tapi... | Part 1
Foto : Internet |
Dikutip dari GenPI.co Pada Senin (2/9/2019). Cerita horor ini menceritakan sebuah perjalanan untuk mendaki sebuah gunung. Dalam perjalanan pendakian tersebut, dikisahkan bahwa pada saat mereka bermalam di tenda terjadi peristiwa mistis nan horor...
Seperti apa kisah lengkapya, yuk kita simak dibawah ini:
Nama gue, sebut saja Gina. Gue dikenal sebagai cewek tomboy di kampus. Sebuah universitas swasta di Jakarta Selatan. Gue bukan anak pecinta alam walaupun gue tomboy. Tapi gue lebih senang nongkrong bareng temen-temen yang hobi naik gunung. Bukan apa-apa, soalnya cowok semua, hehehe.
Kenapa gue gak bergabung dengan pecinta alam di kampus? Simpel aja, gue mager alias males gerak, sementara mendaki gunung bukan pekerjaan mudah. Gue kebayang rasa lelahnya meski belum pernah mencoba sama sekali. Sampai akhirnya salah satu dari mereka mengajak gue untuk ikutan kemping di Gunung Gede Pangrango. Namanya sebut saja Eros. Dia ketua pecinta alam.
Sesekali ikutan kemping, lah Gin. Enak tau, katanya
Ogah banget. Capek bawa-bawa carrier (tas gede buat naik gunung). Belom lagi nanjak-nanjak, hadeh, malasnya, kata gue.
Lah itu seninya. Udah nyoba aja dulu, nanti pasti ketagihan. Gue janji, kalo lu capek, nanti gue dorong ke atas, hehehe, Eros nyengir.
hmmm, tawaran menarik. Gue bilang ke Eros untuk pikir-pikir dulu. Lagian gue juga kepo. Seperti apa sih di gunung itu? Memang seringkali keindahannya terwujud dalam foto-foto teman-teman pecinta alam yang luar biasa. Memandangi matahari terbit sampai tenggelam. Menyenangkan sekali. Belum lagi merasakan kesejukan mata air yang diceritakan sangat alami, dan jernih. Mungkin memang ini saat yang tepat untuk belajar mendaki gunung.
Apalagi jalur Gede-Pangrango melalui Cibodas lumayan ramai. Banyak pendaki pemula yang mencoba menaklukkan alam pertama kali di gunung ini. Jadi gue gak perlu merasa takut dengan berbagai hal yang konon identik dengan misteri semesta dan mahluk di dalamnya, termasuk yang tak kasat mata.
Ah tenang, gue ber-15 orang ini. 14 laki dan gue cewek sendiri. Hohoho, gue ngebayangin betapa dimanjanya nanti di sana.
Oke, mulailah perjalanan yang luar biasa di hari bahagia. Sabtu, 12 Oktober 2013, dengan menyewa bus nanggung, kami menuju Gede-Pangrango melalui jalur Cibodas. Jangan tanyakan lewat mana-mananya, gue bener-bener gak inget lantaran selama di bus gue tidur!
Bangun-bangun, gue sudah sampai di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan waktu menunjukkan persis jam 12.00 WIB. Di sana gue mampir dulu ke Pos Mabes Jagawana untuk didata. Pendataan ini perlu agar bisa diketahui petugas SAR jika ada suatu hal yang tak diinginkan terjadi, entah kesasar atau kecelakaan saat mendaki Gede Pangrango.
Kelar semua, oke pendakian dimulai. Sebelumnya tim mulai berdoa dulu dan berhitung. Kami dibagi menjadi 3 tim, yang satu tim terdiri dari 5 orang. Ada yang berjalan lebih dulu, di tengah, dan di belakang. Mereka yang jalan duluan dan jalan belakangan adalah yang paling mengenal gunung ini.
Waduh, baru sampai di pos yang namanya Batu Kukus, tangan dan kaki gue sudah gemeteran. Capek banget, coy. Padahal perjalanan untuk melihat puncak Pangrango masih sangat jauh. Tapi jujur, gue udah gak sanggup. Mana dingin banget. Gue bener-bener gak sanggup. jam udah menunjukkan pukul 15.30 WIB, artinya gue sudah berjalan selama 3,5 jam menanjak! Pantes pegel banget.
Tapi Ketua Tim, si Eros menyuruh kita semua melanjutkan perjalanan sebab pos itu belum layak untuk dijadikan tempat peristirahatan. Mending di Pos Pemandangan saja. Enak dan lebih dekat dengan air panas, kata Eros
Tim mengangguk semua kecuali gue. Eros cuma senyum dan dia menarik tangan gue. Ayo, gendut, jangan malas. Mau sendirian di sini? Gue dorong badan lu, deh. Gue udah janji, kan? katanya lagi.
Gue cuma manyun.
Lalu Eros menarik tangan gue sekali lagi. Akhirnya mau gak mau gue mengikuti mereka. Daripada sendirian di sini. Eros pun menepati janjinya untuk mendorong tubuh gue yang udah bener-bener lemas.
Kayaknya tanggung ya kalau hanya di Pos Pemandangan. Mending lanjut ke Kandang Batu aja, yuk. Lebih luas tempatnya, ujar Eros. Tim mengiyakan walau muka gue udah sewot banget.
Akhirnya sampai juga di Kandang Batu. Kami menjumpai beberapa pendaki lainnya. Senyum tegur sapa dan ramah saling dilontarkan, tapi tidak dengan kondisi gue yang sudah kelelahan banget. Gue langsung tiduran di tanah bebatuan yang agak landai dengan tenggorokan mengering dan hawa dingin yang bikin bibir retak-retak. Aduh, bener-bener mampus. Capek banget, sumpah!
Ya udah Gina istirahat aja, biar kita yang bangun tendanya, ujar Eros. Wah, kebetulan banget. Pucuk dicinta ulam tiba. Emang gue udah gak mau ngapa-ngapain saking lemesnya. Heran sungguh heran, yang lain biasa saja. Gak tampak kelelahan dari wajah mereka.
Eros mengeluarkan tenda berbahan terpal tebal dan gede banget. Mirip tenda untuk acara-acara di outdoor. Mereka sengaja membawa tenda sebesar itu agar dapat tidur bersamaan. Oia, waktu menunjukan pukul 18.15 WIB dan di tempat ini yang kemping cuma kami. Gak ada rombongan lain. Mereka lebih memilih di Kandang Badak sebagai pos terakhir supaya besoknya bisa sampai ke puncak Pangrango yang indah berhias Edelweis.
Ah, bodo amat, lah. Udah capek beneran.
Kelar tenda didirikan, sleeping bag digelar, selimut yang berfungsi sebagai bantal langsung gue samber. Gue gak ngerti berapa lama gue tidur yang jelas Waktu sudah pukul 02.00 WIB. Wow, lama juga gue tidur ya.
Semua juga sudah lelap. Hanya Eros yang masih terjaga sambil membaca buku biografi Soe Hok Gie yang amat disukainya.
Belum tidur? Tanya gue.
Eros menyunggingkan senyum sambil menggeleng. Lah, lu sendiri kenapa malah bangun? Gak tidur lagi? Giliran gue yang menggeleng.
Entah kenapa hawa Gede Pangrango jadi agak-agak mistis di sepertiga malam begini. Sunyi banget. Saking sunyinya, setiap suara kedengeran. Tak berapa lama Eros malah nguap.
Perasaan tadi belom ngantuk. Kenapa mendadak ngantuk, ya? Gue tidur duluan ya, Gin. Baek-baek lu, kata Eros segera beringsut ke jejeran anak-anak yang tidurnya udah kayak ikan pindang.
Eh, maksudnya baek-baek apa, nih? Ah bodo amat, lah.
Gue bikin kopi yang memang sudah disiapkan. Sachetan plus air termos. Anak-anak ini memang sudah mahir survive. Sampe perbekalan kayak gini mereka pikirin. Kelar bikin kopi, gue duduk di seberang anak-anak tidur. Hehehe, kocak juga ya tidur jejeran gitu. Kayak rakit dari bambu. Gue mainan game di hape yang gak bersinyal.
Bosen. Lalu, apa saja gue perhatiin. Lampu yang dibawa anak-anak, merek apa ya? Terang banget. Tendanya juga keren. Ada jendelanya yang dilapisi plastik tebal. Yang juga jadi perhatian gue adalah, kaos kaki anak-anak mapala yang warna-warni. Ada yang gambar klub bola Manchester United hingga Hello Kitty. Gue pun saking gabutnya, menghitung sepasang telapak kaki mereka.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, gue seruput kopi.
10, 11, 12, 13, 14, 15, aman, semua ada, gue kembali seruput kopi. Tiba-tiba gue terhenyak. Bulu kuduk berdiri dengan tegangnya. Gue baru tersadar, jumlah 15 orang itu termasuk gue!
Ah, mungkin gue salah hitung. Gue ulang dari awal. 1, 2, 3, .... dan 15! Sial, beneran sial! Mereka yang tidur ada 15 orang! Seharusnya plus gue baru 15! Itu siapa yang tidur di antara temen-temen gue, ya Allah!
Lanjut ke Part 2 (klik untuk membaca).
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Kaki yang Ke-15 Itu Bukan Manusia,Tapi... | Part 1"