Cerita Horor : Kisah Perias Mayat yang Lupa Izin, Arwah Penasaran pun Terus Mengikuti!
Foto : Ghosthunterilustration.co/GenPI.co |
Itu bukan bunyi alarm tanda untuk salat malam, melainkan telepon panggilan untuk kembali menunaikan pekerjaanku sebagai perias.
Ya, sudah 30 tahun Aku menekuni profesi sebagai perias jenazah. Sebuah panggilan hati untuk memberikan kenangan manis bagi mereka yang sudah dipanggil pulang.
Tak ada alasan untuk bermalas-malasan. Segeralah Aku bergegas memenuhi panggilan ke rumah duka di salah satu rumah sakit kanker di Jakarta Barat.
Rasa kantuk yang menyelimutiku tak bisa mengalahkan rasa penasaranku untuk segera bertemu dengan calon klienku.
Dia adalah sebujur tubuh kaku yang tak lagi bernyawa. Aku pun belum tahu, alasan kenapa ia dipanggil sang Pencipta, apakah karena sakit atau korban tabrak lari? Aku hanya bisa berpasrah.
Sesampainya di depan kamar jenazah, Aku disambut seorang petugas yang telah selesai memandikan jenazah.
Rupanya di kamar jenazah itu, keluarga mendiang belum ada yang datang. Setidaknya aku bisa menanyakan hal-hal khusus yang berkaitan dengan permintaan jenazah kala masih hidup. Seperti yang biasa kulakukan ke klien ku yang lain.
Sontak, kekhawatiranku mulai menghantui. Bulu kuduk mulai berdiri. Apalagi saat Aku meminta petugas ruangan tersebut untuk menemani, ia pun justru pergi.
“Bu Ver, keluarga jenazahnya belum ke rumah sakit. Jadi nanti Bu Ver sendiri nggak apa ya? Saya tinggal bu. Makasih,” ujar pria itu kepadaku.
“Iya mas,” jawabku singkat.
Di bawah temaram lampu rumah sakit, Aku masuk ke kamar untuk berjumpa klienku. Tak ada ritual khusus sebelum Aku memulai merias. Namun walaupun begitu aku tetap meminta izin melalui komunikasi batin.
Aku tahu ia sudah tak bernyawa. Namun layaknya manusia, meminta izin adalah bagian dari adab dan etika.
“Hai mbak, saya Ver. Mohon izin untuk merias sebagai amanat keluarga dan atas nama Tuhan yang Maha Kuasa,” ucapku dalam batin.
Aku yakin bahwa ia pun sudah berkenan. Dengan alat rias khusus yang sudah kupersiapkan, Aku mulai untuk memoles wajah cantiknya.
Sebelumnya, informasi yang kudapat dari petugas kamar jenazah, perempuan usia 30-an yang terbujur kaku di depanku ini adalah pasien penderita kanker otak yang sudah lama berjuang melawan penyakitnya.
Namun hari itu, ia pun dipanggil pulang Sang Pencipta.
Tak jauh beda dengan merias manusia, rangkaian merias pun Aku awali dengan memoleskan foundation, bedak padat, eyeshadow dan lain-lain. Ia pun tampak manis tersenyum dengan rambut panjangnya.
10 menit berlalu, Aku tercengang ketika mendapati suara blower kamar itu tiba-tiba berbunyi kencang seperti ada yang memukulnya. Sekali, dua kali berhenti, lagi dan mendadak berbunyi lagi.
Hal seperti ini, memang biasa kurasakan selama perjalanan merias mayat. Namun saat itu Aku di ruangan seorang diri, tak ada satupun orang menemani.
Aku terus meminta perlindungan kepada Tuhan untuk niat baikku ini. Lalu Aku meneruskan merias. Tapi saat Aku mulai menyisir rambut klien ku ini, tiba-tiba lampu yang berada di atasku mendadak redup dan mati.
Persis seperti lampu korsleting. Redup mati redup mati dan nyala lagi. Dengan keadaan tangan gemetar, Aku pun lari terbirit ke luar kamar jenazah.
Namun, anehnya kondisi di teras kamar jenazah lampu terlihat masih menyala terang. Sekali lagi, pihak keluarga juga belum terlihat batang hidungnya sama sekali.
Napas kuhela dalam-dalam, sembari mengibaskan tanganku agar kembali rileks. Tak lama, lampu kulihat sudah nyala kembali. Aku masuk dan menyelesaikan tugasku subuh itu.
Setelah hampir 45 menit merias, tiba-tiba Aku dihampiri seorang perempuan yang sekilas mirip jenazah yang sedang kurias ini. Dengan muka yang datar, ia mulai mendekatiku dan tersenyum kecil.
Kupikir ia adalah bagian dari keluarga yang telah datang terlebih dulu. Namun Aku tetap fokus untuk menyelesaikan tugasku dan tidak terlalu lama menatapnya.
Kami pun tidak berbincang sepatah kata pun. Aku akhirnya akan keluar ruangan.
“Mbak, mohon maaf jenazah sudah selesai saya rias,” tanyaku pada sekelebat
bayangan yang kupikir perempuan tadi.
Namun belum sempat Aku keluar ruangan, bayangan tersebut mulai meredup dan
pergi.
Aku baru sadar, sekali lagi keluarga jenazah belum ada yang datang.
Aku pun pulang ke rumah untuk beristirahat. Belum selesai melepas lelahku, mendadak teleponku berdering berulang kali pada pukul 10 pagi.
Dari ujung telepon, seorang petugas jenazah dari rumah sakit yang berbeda menelepon.
“Selamat pagi Bu Ver, pagi ini apakah sedang longgar? Ada satu korban kecelakaan yang mesti dirias pukul 12 nanti. Kami tunggu bu,” ucap petugas itu.
“Iya pak, siap,” balasku dengan sigap.
Aku menuju ke sebuah rumah sakit umum di Jakarta Timur. Lumayan jauh dari tempat tinggalku di Jakarta Barat. Sesampainya disana, keluarga sudah menungu di luar kamar jenazah.
Aku pun langsung masuk. Sebab jenazah akan segera dikebumikan hari itu juga. Aku diberi waktu hanya 30 menit.
“Bu Ver, korban ini laki-laki. Kondisi darahnya terus mengucur dari telinga, hidung dan mata. Tolong untuk ditambal saja dan diperbaiki,” ungkap seorang petugas perempuan.
“Iya siap,” jawabku.
Korban kecelakaan ini adalah seorang pemuda yang jatuh dari motornya di pinggir jalur cepat saat hendak menyalip sebuah truk. Namun malang, ia justru tertabrak dan terpental.
Darahnya mengucur, giginya terlepas, rahangnya patah. Bisa dikatakan wajahnya hancur dan tak bisa dikenali.
Ini tugas berat buatku. Namun Aku tidak boleh menyerah. Perlahan Aku mulai mengoleskan cairan formalin agar membuat darahnya mampet.
Setelah itu aku tutup mukanya dengan teknik-teknik khusus yang sudah kupelajari bertahun-tahun. Tujuanya untuk menyempurnakan wajah sehingga layak untuk dikuburkan.
“Pak jenazah sudah selesai saya rias. Tolong dilihat dulu, barangkali ada yang kurang baik,” tanyaku pada pihak keluarga.
Ya. Biasanya Aku memberikan keleluasaan pada pihak keluarga untuk melihat dan mungkin melakukan revisi terhadap riasanku.
“Sudah Bu, ini sudah cukup. Terima kasih anak saya sudah tenang,” tutur Ibu korban dengan tatapan kesedihan kehilangan putra tercintanya.
Seperti biasa Aku pulang ke rumah. Namun sore itu sekitar pukul 3, sesampainya di gang menuju rumah, ada perasaan yang tak biasa menggelayutiku. Bulu kuduk merinding, was-was, kaki bergetar, keringat dingin. Ini benar-benar menghantui.
Aku merasa diikuti oleh pria bertubuh tinggi dengan muka berdarah yang sedikit hancur. Dia berjalan sempoyongan. Semakin Aku melangkah cepat, ia semakin cepat mengejar.
Sesampainya Aku berhenti di depan teras rumah, pria tersebut raib. Tanpa berpikir yang aneh-aneh, Aku langsung menuju ke kamar tidur. Karena sore itu Aku merasa badanku hampir rontok.
Tak lama setelah Aku merebahkan badan di atas kasur bertingkat… Jreeeng… jreeng tiba-tiba kepalaku pusing bukan kepalang. Tenggorakan terasa di cekik.
Dan, muncullah bayangan pria yang membuntutiku tadi. Bayangan besar itu berada di atas badanku. Ia terlihat sangat marah dengan tangannya yang mencekik leherku.
Wajahnya hancur, namun badannya masih utuh. Dia terlihat murka, Aku pun tertindih.
Tak lama, Anak perempuanku datang menolong Aku dan membangunkan.
Katanya, Aku sedang ngelindur dan Aku mulai tersadar. Bayangan tersebut pergi dan menghilang.
“Mah... mamah kenapa? Kok kaya tercekik gitu? bangun mandi dulu,” tanya anakku.
“Nak, pergi kemana orang itu?,” tanyaku.
“Siapa mah? Ngaco, mama tuh ngelindur,” balas anakku.
Aku kaget banget. Mungkin tadi ketika merias Aku tidak melakukan komunikasi dengannya terlebih dahulu sehingga ia merasa tak terima dengan hasilnya. Aku minta maaf, yah mau gimana lagi memang resiko pekerjaan.
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Kisah Perias Mayat yang Lupa Izin, Arwah Penasaran pun Terus Mengikuti!"