Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 2

Cerita dibawah ini merupakan kelanjutan dari bagian pertama ( silahkan di klik bagi yang belum baca, biar nyambung ceritanya dari awal). 

Mbak, mienya dah jadi? adikku mengagetkanku! Sial, lah. Segera kubereskan membuat makanan untuk adikku. Lalu kami duduk-duduk manja di depan televisi.

Adek, kamu denger gak suara tadi? Bug, gitu. Kayak badan kita kalau digebukin pakai guling, dan jangan nanya, karena aku gak ada perumpamaan lain.

Engga tuh, jawab adikku singkat. What the hell. Pasti dia bohong. Suara sekeras itu harusnya terdengar paling tidak jarak 10 meter. Nah, panjang rumahku ada sekitar segitu. Auto adikku pasti denger, kan.

Adek kamu jangan bohong nanti dosa tau. Denger apa engga?

Ih, dibilangin engga, katanya.

Suara televisi kamu gak kegedean, kan?

Lah, ini TV baru dinyalain, katanya dengan logat agak cadel.

Dia benar. TV baru dinyalakan. Baru ini. Artinya memang cuma aku yang mendengar. Sambil menemani adikku makan. Bulu kudukku merinding. Semoga ayah dan ibu cepat pulang.

-----------------------------

Bangun-bangun aku sudah di atas kasurku sendiri. WTF! Aku segera bergegas keluar sambil deg-degan. Sudah pagi rupanya, matahari meninggi.

Aku kok di dalam kamar? Harusnya depan TV!tanyaku nge-gas kepada ayah dan ibu yang lagi sarapan.

Lah iya, memang depan TV sama adek, ketiduran. Makanya ayah angkat ke kamar. Histeris gitu? ucap beliau.

Aku cuma Oooo, panjang. Ingin kembali rebahan. Tapi kuurungkan karena ibu masak nasi goreng yang kayaknya enak. Tak perlu cuci gigi, langsung kusikat nasi goreng buatan ibu yang lezatnya bisa umroh 7 kali. Enak banget, bu, kataku. Ibu cuma senyum.

Nah, kita skip dulu sampai sini. Lagi enak-enaknya menyantap masakan ibu, ibu cerita pada ayah dalam bahasa Jawa. Mungkin berharap aku tidak ngerti. Tapi percayalah bu, walau dibesarkan di Jakarta, adat Yogyakarta terutama memahami bahasa Jawa kupegang teguh. Langsung aja ke artinya, ya.

Semalam waktu kita sampai, trus kamu mandi, aku mendengar ada orang menangis dari arah rumah belakang, kata ibu ke ayah.

Ayah gak denger apa-apa, kata ayahku.

Ya jelas, keran kamar mandi kamu nyalain. Tangisannya cukup kencang. Kayak habis dianiaya, ujar ibu lagi.

Ayah menangkap kegelisahan ibu. Aku pura-pura cuek sambil melanjutkan baca novel Goosebumps. Anak era 90-an pasti tau banget novel ini. Ceritanya soal hantu-hantuan yang lumayan mengejutkan. Sambil buka-buka Goosebumps, kudengar cerita-cerita ayah dan ibuku lagi.

Nanti coba ayah sama aku bertamu ke sana. Takut ada apa-apa. Kalau memang ada penganiayaan, kita panggil polisi, tutur ibuku.

Ya sudah, nanti kita kesana.

Ayah dan ibuku hendak ke sana sekitar pukul 14.00 WIB berkunjung ke rumah belakang sekaligus membawakan kue-kue. Bagi warga Jogja, bertamu dengan membawa buah tangan itu wajib hukumnya. Kami tak biasa melenggang begitu saja tanpa oleh-oleh, walau itu hanya roti 4 biji sekalipun.

Kulirik jam, masih jam 09.00 WIB. Masih lama. Aku membayangkan ayah dan ibuku berkunjung ke sana dan akhirnya bisa cari tahu mengenai wanita misterius di belakang rumah kami. Penasaran.

Akhirnya jam 14.00 WIB tiba. Aku ingin sekali mengingatkan ayah dan ibu akan janjinya pergi ke rumah tetangga belakang. Tapi stay cool aja, lah. Bisa-bisa disemprot beliau kenapa curi dengar percakapan orangtua. Ya sudah, aku pura-pura main PS dan berusaha gak ngerti apa pun.

Ke luar sebentar, ya Jen, kata ibuku. Aku cuma menjawab he eh, padahal keponya setengah mampus.


Baru pergi sekitar 10 menit, ayah ibu sudah balik ke rumah. Orangnya gak ada, kata ibu. Diteriakin sampai pegel, gak keluar. Tapi lampu teras depannya hidup. Mungkin lagi pergi, kata ibuku lagi.

Kok aku curiga, ya? Sepertinya dia gak pergi tapi memang mengurung diri. Eh, suuzon banget, tapi namanya anak kecil, lagi hobi-hobinya kepo. Gimana caranya untuk investigasi sebenarnya wanita itu di rumah atau tidak. Pura-pura ambil sepeda, ah.

Jen, mau kemana kamu? kata Ayah.

Main, jawabku singkat.

Mandi belum, apa belum, sikat gigi belum, main saja anak satu ini. Mandi dulu, ibuku menyahut

Hih elah, aku beringsut manyun ke dalam rumah. Kuteruskan saja nonton TV lah. Lagian panas matahari lagi nyengat-nyengatnya. Nanti saja mandi sekalian sore, hehehe. Begitulah aku, waktu kecil malas mandi banget.

------------------------

Sore menjelang, pukul 16.35 WIB aku masih ingat sekali jamnya. Lantaran itu jam berbentuk kotak yang bisa disetting ulang. Pasti kamu tahu, deh. Jam lama klasik dan dia berhenti tepat saat aku melihatnya. Nanti saja kusetting, sekarang mau mandi dulu. Mau main sepeda, yippie.

Kelar mandi, segar, wangi, aku langsung bergegas ambil sepedaku. Kali ini agak malas ke lapangan, nanti kotor lagi, kan aku udah mandi. Aku niatkan saja keliling komplek perumahan. Oia, nama-nama jalan di perumahanku ini diambil dari nama gunung. Ada Merapi (jalan rumahku), Ada Malabar, Pangrango, Gede, Tinombala, Rinjani, banyak lagi. Satu RT biasanya terdiri dari 4 baris rumah yang berhadapan dan membelakangi. Jalan rumah wanita itu bernama Gunung Kawi. Aku melewatinya nanti, kalau sudah mau pulang, biasanya deket-deket maghrib.

Karena komplek ini belum banyak yang menghuni, mobil dan motor sangat jarang. Aku bisa kebut-kebutan sepeda lalu menikung tajam di belokan tanpa takut ada kendaraan lain di hadapanku. Oh, sungguh mengasyikkan. Tapi itu dulu. Sekarang gak usah ditanya. Tetangga ibuku bisa punya 3-4 mobil dan garasi rumahnya hanya muat 1 mobil. Kebayang sempitnya jalan-jalan di perumahan ini.

Oke skip.

Hari menjelang maghrib. Saatnya untuk pulang. Aku melewati Jalan Kawi pelan-pelan. Di gang ini kuhitung hanya 7 dari 12 rumah yang sudah ditempati. Sisanya kosong. Aku mulai melewati rumah nomor 13. Pagarnya hanya setinggi dada orang dewasa, kira-kira setinggi kepalaku. Tapi pagarnya jarang-jarang dan tidak ditutupi apa pun sehingga kita bisa melihat ke balik pagar.


Rumah kosong (Foto : Iustrasi)

Entah kenapa aku berhenti agak lama di depan rumah itu. Sambil kuperhatikan setiap sudutnya. Rumah itu ada cahaya bohlam di terasnya tapi kayak bohlam di peternakan ayam negeri. Penuh debu, sarang laba-laba, dan temaram. Aku sampai merebahkan sepeda di tengah jalan, mendekat ke arah pagar.

Kuperhatikan kaca depan rumah, ADA YANG MENGINTIPKU! SEBELAH MATA YANG MELOTOT MEMBESAR! Hanya terlihat mata, tidak terlihat wajahnya! Buru-buru kuambil sepeda dan ngacir! Sial, seram sekali! Hingga hari ini mata itu masih suka terbayang-bayang. Bahkan mendefinisikannya saja aku gemetar.

Hingga saat aku melihat mata itu dan naik kelas 3 SMP tidak ada kejadian yang terlalu aneh.

Oke skip.

Hingga akhirnya....

Bersambung ke bagian ke 3

Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 2"