Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 3
Cerita dibawah ini merupakan kelanjutan dari Bagian ke 2 ( silahkan di klik bagi yang belum baca, biar nyambung ceritanya dari awal).
Hingga akhirnya menginjak kelas 3 SMP, ayah ibuku mulai bisa membangun rumah. Kami lumayan terpandang lah di komplek. Apalagi ayah bekerja di BUMN minyak itu. Gajinya mungkin yang paling besar di perumahan yang lebih mirip papan subsidi untuk warga tak mampu sebenernya. Tapi ya sudahlah, ya. Disyukuri aja.
Hingga akhirnya menginjak kelas 3 SMP, ayah ibuku mulai bisa membangun rumah. Kami lumayan terpandang lah di komplek. Apalagi ayah bekerja di BUMN minyak itu. Gajinya mungkin yang paling besar di perumahan yang lebih mirip papan subsidi untuk warga tak mampu sebenernya. Tapi ya sudahlah, ya. Disyukuri aja.
Hore, rumahku bakal bertingkat. Tapi ibu bilang di atas khusus untuk mencuci, jemur, serta menyetrika. Jadi tidak dibuat ruangan bertembok. Tetap terbuka dengan dikelilingi teralis sehingga maling tidak masuk. Well, mantul juga ide ibuku. Jadiin.
Ada 1 tukang dan 2 yang membantunya, biasanya disebut kenek. Sebelum membangun, ibu minta izin tetangga kiri-kanan-belakang supaya tak terganggu aktivitas para tukang ini. Giliran di rumah belakang, lagi-lagi ibu tak bisa menemui pemiliknya. Ibu memintaku menemani pergi ke Pak RT mencari tahu siapa pemilik rumah nomor 13. Wah iya, kenapa gak dari awal nanya pak RT?
Pak RT sendiri merupakan seorang pegawai swasta yang hampir jarang memperhatikan warganya karena sibuk bekerja. Pak Ahmad namanya. Dia berusia kayak ayahku, pada waktu itu masih 47 tahunan. Pak RT mempersilakan ibu dan aku duduk.
Rumah pak RT ada di ujung jalan Merapi, jalanan rumahku. Kekuasaan pak RT meliputi Jalan Merapi dan Jalan Kawi. Ibu haha hihi sebentar sama bu RT sambil menanyakan pertanyaan-pertanyaan template. Anak berapa, di mana dulu tinggalnya, bla bla bla. Aku cuma bengong sambil ngeliatin ruang tamu pak RT.
Denah rumahku (Foto : Dok. Pribadi) /Genpi.co
Tibalah pertanyaan mendasar. Anu pak RT, saya mau tanya, itu rumah di belakang saya siapa, ya? Saya sejak 11 bulan lalu pindah ke sini, tidak pernah tahu. Siapa di belakang saya itu. Tapi kadang saya mendengar suara-suara aneh. Kayak orang nangis, atau bertengkar karena ada suara bag bug bag bug yang kedengeran sampai dinding rumah saya. Tiap saya samper, gak pernah ada yang keluar. Atau mungkin orangnya lagi pergi. Kalau bertamu malam-malam kan kurang sopan. Jadi jarang saya ke sana kalau malam. Biasanya siang. Saya mau minta izin ke dia, karena saya mau bangun rumah. Namanya tetangga, saya gak mau kalau dia merasa keberatan saat bangun rumah suaranya berisik. Saya minta kesediaan pak RT untuk menjelaskan sama yang punya rumah. Barangkali pak RT bisa membantu saya, kata ibu.
Pak RT dan Bu RT pandang-pandangan. Bu RT tersenyum agak kecut dan menghela nafas panjang, lalu mempersilakan suaminya untuk menjelaskan, monggo, pak. Oia, mereka juga orang Jawa. Dari Semarang.
Anu, bu. Jadi begini. Yang tinggal di situ namanya ibu Tantri. Sudah lama beliau mengidap kurang waras. Dulu mereka orang pertama yang menghuni perumahan ini. Paling tidak orang pertama di RT ini, baru saya. Dulu gak gini keadaannya, baik-baik saja. Saya sempat ngobrol sama suaminya, sekitar 3 tahun lalu. Sampai suaminya dan anak-anaknya pergi meninggalkan Bu Tantri. Dia di sana seorang diri. Memang gitu, kalau ada tetangga yang datang, dia gak mau keluar. Paling ngintip doang di balik tirai, jelas pak RT Ahmad.
Kalau mau bangun rumah, ya bangun saja. Tidak apa-apa. Yang penting niat kita baik. Semoga Bu Tantri tidak keberatan. Selama ini gak ada yang aneh-aneh sih laporannya. Paling ya, hanya bu Tantri nangis saja atau suara-suara kayak pukulan ke dinding. Tapi gak masalah. Kalau ada apa-apa, mending ibu lapor lagi saja.
Ibu tersenyum, sudah dapat jawaban. Aku pun lega. Oh, orang gila tho, pikirku. Kami pun pulang.
Ayah dan ibu memulai proses pembangunannya. Dikarenakan keluarga kami setengah kejawen, ayah dan ibu tak lupa menaruh sesaji agar pembangunan berjalan lancar. Bukan sesaji aneh-aneh pake ayam cemani segala, hanya bubur merah dan putih. Hio dengan jumlah ganjil, bunga-bunga diutamakan melati dan kenanga yang ditaruh dalam bejana air mawar. Itu saja.
Cukup lama juga, sebulan penuh proses pembangunan sampai jadi. Lancar dan hasilnya sungguh kece. Semi bangunan beratap jadi tak kehujanan. Teralis menutup di bagian belakang dan arah selatan. Bentar deh digambarin biar ada bayangan, hehehe.
Denah tempat cuci setrika rumahku (Foto : Dok. Pribadi) /GenPI.co
Kira-kira begitulah. Nah, di bawah teralis dekat mesin cuci adalah rumah nomor 13, dan di bawah teralis dekat saluran air adalah rumah nomor 19, samping rumahku. Aku bisa melihat atap rumah mereka. Dan rumah nomor 13, satu atapnya hilang. Memungkinkan aku melihat isi rumahnya dari atas. Tapi gak juga ternyata, karena ketutup plafon. Duh, otakku, please jangan kepo.
Oke tanpa berbasa-basi lagi, aku yang kebagian tugas nyuci semangat banget mencoba area cuci-jemur dengan perdana. Apalagi ibu menaruh bale-bale dengan modifikasi kasur kecil di atasnya. Empuk banget. Tugas mencuci jadi terasa aduhai. Biasanya aku mencuci di malam hari sambil kuselingi dengan belajar. Padahal ibu menganjurkan untuk mencuci seminggu sekali saja, yang penting pakai digosok manual pas hari libur. Duh, malas. Ini rela kulakukan biar hari liburku bisa main seharian.
Oke skip.
Gak tau kenapa mungkin kebetulan yang menyebalkan, mencuci perdana itu hari Kamis mendekati Maghrib. Siangnya pulang sekolah kan tidur, hehehe. Awalnya aku gak ngeh apa pun. Mulailah ritual mencuci, rendam, kasih sabun, putar, tinggal baca buku.
Lama kelamaan aku mencium bau darah yang pekat di tempat cuci. Baunya sungguh anyir. Sampai-sampai...
Bersambung Ke Bagian ke 4
Posting Komentar untuk "Cerita Horor : Sosok Wanita Penunggu Rumah Nomor 13 | Bagian Ke 3"